Menjahit Seni Rupa dan Musik

Membahas keterkaitan musik dan seni rupa acapkali membuat kita terjebak dengan memisahkan keduanya sebagai dua disiplin ilmu yang berbeda. Musik dengan audionya dan seni rupa dengan visualnya. Padahal, ketika diletakkan sebagai satu kesatuan pengetahuan, keduanya saling mengikat dan menjadi pintu untuk membaca informasi yang ingin disampaikan, atau gagasan yang tertaut di dalamnya. Cukup sulit di masa sekarang dengan kebiasaan kita memandang segala sesuatu bercabang-cabang dengan pengategorian dalam berbagai disiplin ilmu dalam melihat cabang-cabang kesenian sebagai satu kesatuan.

Tiga orang yang bergelut dalam bidang musik dan seni rupa: Sirin Farid Stevy, Anitha Silvia, dan Wok The Rock, membicarakan kedua wacana tersebut pada simposium Makassar Biennale 2019 yang berlangsung di Ruang Teater Gedung Kesenian Societeit de Harmonie Makassar pada 3 September 2019, dan dimoderatori oleh Iko MD.

Dalam pembahasan musik dan  seni rupa, Wok The Rock, pria kelahiran Madiun, Jawa Timur, 15 September 1975 ini memberi rambu-rambu terhadap dua hal tersebut yang kadang menjebak kita dengan melihatnya secara terpisah. Menurutnya, dalam tradisi kuno, pengategorian seni tidak terjadi seperti sekarang. Seni selalu terkait satu sama lain, lebih plural.

Salah satu contoh, ketika orang-orang terdahulu merayakan musim panen. Ada bunyi yang dimainkan, yang disebut musik; ada juga yang divisualkan, yang disebut seni rupa; juga ada yang dituturkan, yang disebut sastra. Ketiga hal tersebut ditampilkan dengan motif sosial-ekonomi untuk merayakan sesuatu.

Kemudian setelah memasuki zaman Renaisans membuat bentuk-bentuk ekspresi ini punya rezimnya masing-masing. Menurut Wok The Rock, seni kontemporer kemudian mengambil bentuk ini, yang merujuk pada Eropa atau Barat, yang membuat kita kehilangan rasa.

Semasa Wok The Rock kuliah di jurusan DKV ISI pada tahun 90-an, ia merasa generasinya menginginkan sesuatu yang lebih cair, sebab bosan dengan batasan-batasan dalam bentuk disiplin ilmu. Pada masa-masa ketika visual bercorak realis jadi pakem, Wok The Rock dan kawan-kawannya mencoba membuat gebrakan baru pada dunia seni rupa, khususnya di kampus tempat ia kuliah. Mereka menggambar band, artwork band, alih-alih mengikuti senior-seniornya yang pada masa itu menganggap bahwa visual realis lebih ‘tinggi’ daripada apa yang mereka kerjakan.

Pada masa-masa itu juga, Wok The Rock dan  kawan-kawannya mencoba menaklukkan irisan-irisan seni rupa dengan mengintervensi, misalnya, performance art dengan menampilkan musik dalam format band. Ia memimpikan penghijauan kembali lahan seni rupa. Merayakan sesuatu begitu saja tanpa sekat apapun, lalu menjadi pertunjukan seni rupa.

Wok The Rock adalah seniman yang tergabung dalam kolektif Ruang MES 56. Sebuah Kolektif seniman yang bekerja secara kooperatif bersama komunitas dan jejaringnya dalam mengelola sebuah tempat yang digunakan sebagai studio kerja, kelas belajar, ruang bermain, sekaligus hunian. Ruang MES 56 dibentuk pada tahun 2002 dengan pendanaan mandiri, komunitas ini bertumpu pada pengembangan fotografi dan seni kontemporer yang beririsan dengan disiplin ilmu lainnya secara kritis dan kontekstual demi terwujudnya masyarakat yang terbuka, kreatif, dan mandiri.

Lantaran membahas tema yang ingin menjahit seni rupa dan musik, Wok The Rock memberi contoh bagaimana keterkaitan keduanya. Dalam cover album misalnya, kedua bidang seni secara gamblang dilihat keterkaitannya. Apalagi fenomena yang berkembang belakangan, banyak musisi yang juga menggambar.

Cover album musisi membutuhkan artwork. Ikatan keduanya bukanlah ikatan dua disiplin ilmu berbeda yang digarap dengan tujuannya masing-masing. Tetapi, dalam cover album, keduanya menjadi satu kesatuan yang saling melengkapi. Menyinggung cover album, Anitha Silvia, manajer band Silampukau, merasakan keterkaitan kedua bidang seni tersebut dari cover albumnya yang dikerjakan oleh Redi Murti, seniman kelahiran Surabaya, l6 September 1987,  yang banyak mengerjakan ilustrasi sampul dan gambar kaus untuk band-band asal Surabaya.

Anitha Silvia menceritakan bunyi dan visual yang digarap oleh Silampukau dan Redi Murti yang dikerjakan secara bersamaan. Ini mengindikasikan ilustrasi yang dihadirkan dalam cover album Silampukau tidak hanya menafsir bunyi dan lirik lagu, tetapi juga gagasan visual. Sehingga menaruh keduanya pada satu garis dan satu kesatuan pengetahuan.

Dalam beberapa kasus, misalnya ketika Silampukau diundang untuk tampil di negara luar, penyelenggara akan lebih dulu meminta karya Redi Murti untuk dipajang. Hal Ini menjadikan orang-orang mengenal karya-karya Silampukau lewat ilustrasi yang dihadirkan oleh Redi Murti.

Sementara itu, Brandon dari Milisi Record yang hadir pada simposium itu, menanyakan tentang bagaimana sebaiknya menghargai seni rupa berupa artwork untuk band-band di Makassar, agar terhindar dari momok menakutkan seperti ‘harga teman’.

Sirin Farid Stevy, seorang musisi juga seniman, menanggapi pertanyaan Brandon dengan mengatakan bahwa kalau hal tersebut jamak terjadi di mana-mana. Ia menawarkan sesuatu yang lain, sesuatu yang bisa ditempuh tanpa harus melihat hubungan seni rupa dan musik dalam fragmen nilai tukar. Ia pernah membuat logo band Summerdose, band Iqbal eks Coboy Junior lalu menolak untuk dibayar. Farid Stevy hanya meminta Iqbal untuk memperkenalkannya pada jaringan bisnisnya. Hal ini menjadi mungkin, mengingat kepopuleran Iqbal tertaut dengan “bisnis-bisnis besar” yang juga akan membantu Farid Stevy dalam mengembangkan studionya.

Di lain sisi, Anitha merespons pertanyaan Brandon dengan menawarkan cara yang komunikatif. Menurutnya, penting untuk mengajak seniman yang akan membuat artwork untuk karya-karya musik untuk membicarakannya secara lebih terbuka. Ia membahas kepercayaan antara dua seniman yang berbeda untuk mengerjakan sesuatu bersama-sama tanpa satu bidang yang hanya ditempeli bidang lain. Sedangkan, Wok The Rock merespons hal tersebut dengan pertanyaan yang menggemaskan: “Segitunya  kah kita sampai-sampai ekspresi seni harus diperas menjadi moneter?” Ia merasa apa yang dipraktikkan oleh Farid Stevy bisa dipraktikkan dalam hubungan kedua cabang seni tersebut.

Praktik-praktik musik dan seni rupa di Sulawesi Selatan, khususnya Kota Makassar masih mencari bentuknya. Bagaimana skena berkembang, bagaimana skena dihujani inisiatif-inisiatif untuk menjadi ‘sesuatu’ bagi kotanya. Seperti halnya Bobhy, dari Kedai Buku Jenny, menanyakan hal di atas terhadap ketiga pelaku seni yang menjadi pembicara di simposium Makassar Biennale 2019.

Wok The Rock meresponsnya dengan mengatakan bahwa dalam menghidupi skena juga beririsan dengan menghidupi komunitas-komunitas sekelilingnya. Lewat perayaan-perayaan kecil sudah lebih dari cukup. Ini harus dikerjakan dengan lapang dada, agar punya dinamika, pergesekan, yang baiknya tidak usah dihindari. Justru dinamika dan pergesekan ini turut ikut membesarkan skena. Selain itu, skena juga harus terbuka dan bekerja dalam lintas bidang ilmu dan intensif agar menciptakan satu ekosistem yang besar.

Farid Stevy menanggapinya dengan lebih optimis. Menurutnya, ketika ia pertama kali datang ke Makassar, skenanya termasuk progresif. Menurutnya, seperti Wok The Rock, hanya perlu bekerja sama dengan lintas disiplin ilmu. Masalah lain yang juga disoroti Farid Stevy adalah jebakan superior dari band-band yang mengawali musik di satu kota. Superioritas itu berwujud ketakutan untuk mendapatkan saingan yang akhirnya membuat skena tidak berkembang dan jadi begitu-begitu saja. Padahal, menurut Farid Stevy, persainganlah yang justru menghidupi skena di satu kota. Ketika ada band lain yang muncul, band yang lainnya lagi harusnya punya mental yang lebih kompetitif dengan membuat karya-karya lain, agar tidak tersalip. Ini yang akhirnya membuat skena begitu berdinamika dan punya gesekan yang membuat skena di satu kota membesar.

Seni rupa dan musik pun bagi saya adalah sesuatu yang sangat terkait dalam satu keseluruhan pengetahuan. Seni rupa dan musik dipertemukan oleh hilir yang bersifat kultural, sedangkan ia punya hulu yang diawali dengan gagasan yang akhirnya menjadi satu ekosistem kesenian yang sangat besar dan luas.

Tulisan ini terbit pertama kali di:
https://makassarbiennale.org/menjahit-seni-rupa-dan-musik/

Fauzan Al Ayyuby, belajar dan bekerja di Tanahindie.

Bagikan:
Pin Share

Tinggalkan Balasan