Di kompleks perumahan di Jalan Anggrek malam itu tampak sepi. Tidak ada aktivitas warga duduk di beranda rumah. Mungkin karena hujan yang baru reda menjelang magrib membuat aktivitas luar rumah dikurangi. Saya mengabarkan kepada kawan-kawan di grup WhatsApp supaya berkumpul dulu di Warkop Shiniki karena lokasinya berada di jalan yang sama meski beda lorong. Menanggapi pesan itu, Ical menyampaikan kalau Zulkifli Sunan juga masih dalam perjalanan dari Ma’rang, sekitar 15 km dari lokasi.
Sesuai jadwal yang telah disepakati, Senin, 8 Maret kami akan membincang kembali buku Ramuan di Segitiga Wallacea: Siasat Pengobatan Warga Selat Makassar, Laut Flores, Hingga Teluk Cendrawasih. Bincang buku ini merupakan seri kedua yang diupayakan Rumah Saraung setelah Minggu, 31 Januari digelar dengan tema sudut pandang jurnalis. Dan, kali ini mencoba mendedahkan perspektif peracik obat herbal dan agama.
Kami mengenal Zulkifli Sunan setelah ia mengomentari postingan video Instagram Rumah Saraung. Ia tertarik ingin membaca buku Ramuan di Segitiga Wallacea. Bermula dari situlah, Ical yang mengantarkan buku itu membangun komunikasi. Rupanya, Pak Zul merupakan guru yang mengampuh mata pelajaran Teknologi Ilmu Komputer (TIK) di SMA Negeri 1 Pangkep di mana Ical dan Afdal dulu merupakan anak muridnya.
“Saya mulai membuka klinik ini tahun 2014,” tutur Pak Zul membuka percakapan sembari membereskan sejumlah barang yang terserak. Sebelumnya memang kami tidak mengadakan geladi bersih untuk memulai bincang buku di kliniknya.
Klinik yang dinamai Rumah Sunan itu terbilang luas. Di bagian depan dilengkapi ruang tamu dengan pemajangan etalase racikan obat dan susunan buku referensi pengobatan herbal. Di bagian dalam merupakan tempat praktik untuk melakukan bekam dan akupunktur. Dua keahlian yang ditekuni selain menyelesaikan studi khusus meracik obat herbal hingga mendapat gelar acaraki dari studinya selama hampir tiga tahun di Usada Empiris Indonesia.
Dalam pemaparannya, ia menilai kalau penelitian yang dilakukan dalam buku Ramuan di Segitiga Wallacea masuk dalam kategori pengobatan komplementer dan sebagian bisa disebut herbal. “Ada dua jenis pangkal pengobatan, yakni komplementer yang mencakup pengobatan tradisional. Lalu ada disebut naturopati yang kemudian bisa dipisahkan ke dalam golongan pengobatan herbal dan ilmu medis modern,” terang Pak Zul.
Pak Zul tidak heran jika kemudian penelitian yang dilakukan dalam buku banyak menemukan ramuan pengobatan yang bersumber dari lingkungan. “Bisa dikatakan kalau di Indonesia itu 60 persen tumbuhan merupakan sumber obat,” tukasnya. Inilah salah satu bentuk ketertarikannya atas apa yang telah diupayakan para peneliti karena mengambil langkah yang tak biasa. Sebagai seorang acaraki, ia juga selalu mengamati beragam tumbuhan yang dijumpai dan melakukan uji coba untuk mengetahui khasiat yang dikandung.
Selama 30 menit lebih, Pak Zul banyak menjelaskan asal-usul pengobatan. Keluasan pengetahuannya dibeberkan dengan sajian informasi yang baru kami ketahui. Ia menjelaskan kalau herbalis dalam Islam disebut tibbunnabawi, yang didasarkan pada Al-Quran tentang tanaman, minuman, dan makanan yang telah disebutkan, di antaranya ialah labu, zaitun, habbatussauda, madu, garam, dan cuka. “Total ada sebelas jenis. Namun, seiring perkembangan dan hasil eksperimen para herbalis mulai memasukkan unsur tumbuhan lain sesuai yang bisa dijumpai di wilayahnya sehingga terbangun relasi lebih luas,” ujarnya.
Pak Zul juga memaparkan pembagian golongan pengobat dari jalur Hindu dan Buddha yang ahlinya disebut ayurpeda. Di Islam disebut tabib, sedangkan di Tionghoa dinamakan sinse. Dalam perkembangan yang lebih baru dari jalur pengobat tradisional yang berkembang di Indonesia disebutlah acaraki. “Acaraki itu sendiri berpangkal dari tradisi Jawa kuno yang disebut dalam relief di candi Borobudur,” terang Pak Zul.
Penyebutan tersebut mengarah pada sosok yang mencapai level ahli dan telah diakui dalam komunitas atau telah mendapat pengakuan dari masyarakat guna meracik obat berupa jamu atau ramuan. Pak Zul menerangkan kalau pada dasarnya memiliki kesamaan fungsi untuk menghasilkan obat yang dibutuhkan untuk pengobatan. Adapun yang membedakan bisa dilihat dari sisi terapi. Di jalur tibbunnabawi, terapinya berupa bekam, ruqyah, dan fashdu. Jalur Hindu-Buddha itu dilakukan pemijatan dengan segala variannya. Sedangkan Tionghoa mengembangkan terapi akupunktur dan akupresur. Jalur-jalur pengobatan inilah kemudian mengalami perkembangan sehingga tidak mesti lagi seorang sinse yang musti melakukan praktik terapi akupunktur. Begitupun dengan jalur yang lain.
Doa dan Media yang Menyertainya
“Orientasinya adalah dari media apa yang digunakan untuk menyembuhkan orang. Jadi, ada media dulu, bukan sekadar doa. Kalau Islam menganjurkan berdoa tetapi bukan sekadar doa tetapi ada media yang bisa menyembuhkan,” terang Saiful Mujib.
Doa dalam penjabaran konsepsi Mujib bukanlah tindakan eskapisme. Melanjutkan bahasan ini, ada hal menarik di buku Doa (Pustaka Hidayah: 1995) karya Ali Syariati yang mengisahkan kiprah Alexis Carrel, ahli kedokteran dan fisiologi asal Prancis yang pernah mendapatkan dua Nobel di bidang berbeda. Menurut Ali Syariati yang mengupas monograf La Priere (Perancis: doa) hasil riset yang dilakukan Carrel, menuliskan: “Alexis Carrel percaya akan urgensi doa. Sebelumnya, sudah saya katakan bahwa banyak sekali filosof, pemikir, atau kaum agamawan yang berbicara tentang doa. Tetapi, lain jadinya kalau seorang biolog dan neurolog menyelidiki pengaruh doa dalam berbagai penyakit dan operasi yang telah dia jalankan.”
Ketika berbicara media, kita akan bertanya ke orang yang disebut ahli, kepada sanro, misalnya, dengan beragam caranya masing-masing. Ada yang meniup dengan perantara air atau langsung ke pasien dengan bacaan khusus,” ucap Saiful Mujib.
Mujib mengungkapkan kalau praktik pengobatan yang diupayakan warga bisa dilacak dari bentuk keyakinan dari orang yang dianggap memiliki keistimewaan dan itu biasanya diwariskan kepada orang-orang tertentu. Selaras dengan ungkapan Pak Zul, jenis tanaman, makanan, dan minuman sudah disebutkan dalam Al-Quran dan itu merupakan petunjuk media pengobatan. “Dalam Al-Quran sendiri banyak disebutkan produk alam yang bisa menjadi media pengobatan seperti kurma, madu, dan zaitun,” ucapnya.
Peran Para Pengobat
“Kita tidak usah mencurigai keberadaan pengobat tradisi dan herbal bakal menjadi pesaing dokter atau jalur medis modern. Kita harus memandang bahwa 200 juta lebih penduduk Indonesia ini perlu mendapat pelayanan kesehatan yang terjangkau karena fasilitas kesehatan modern tidak cukup,” tegas Pak Zul.
Pak Zul meyakini kalau masyarakat akan mencari jalan terdekat untuk berobat. “Daripada menjadi bola liar tidak terkendali, maka perlu dirangkul oleh pemerintah dan dipermudah perizinan jika ada pendirian klinik herbal. Di situlah salah satu peran pemerintah,” ia menambahkan.
Mujib sepakat kalau kehadirian para pengobat tidak bertentangan dengan konsepsi pengobatan modern. “Keberadaan pengobat tradisi tak bisa dinafikan dan itu menjadi bagian pilihan oleh warga,” imbuhnya. Pertentangan yang selama ini dimunculkan hanyalah pada kebersihan yang mungkin standar kebersihan itu sendiri bisa diperdebatkan. “Para sanro atau dukun berkembang dari orang-orang yang tidak belajar formal dan tidak paham bersih versi WHO, misalnya, saya pikir kebersihan itu disandarkan pada dirinya. Hal yang membuatnya spesial di tengah masyarakat karena dari keyakinan yang membuatnya diterima dan pemerintah perlu mengakomodir,” lanjut Mujib.
F Daus AR, pegiat Rumah Saraung, Pangkep.