Saya membuka halaman pertama lalu melihat warna biru muda yang mirip warna langit itu mendominasi sebuah gambar yang abstrak. Di tengah-tengahnya ada tulisan “ALIFE” yang ditebalkan dan terlihat kontras. “Itu dinding kamar Ruri,” ucap Eky, fotografer yang mengerjakan buku foto berjudul Onward ini. Sedangkan Ruri adalah subjek untuk bukunya.Mereka bertemu saat Katakerja, perpustakaan komunitas yang dikelola Eky dan kawan-kawannya mengadakan kelas. Ia menyimak saat Ruri, salah satu peserta di kelas itu bercerita tentang kecemasan sosialnya. Saat ia mulai menggarap proyek buku foto, Eky mengirimkan proposal ke Ruri dan berdiskusi bersamanya. Ternyata Ruri menggunakan jenis terapi yang menarik bagi Eky untuk mengolah gangguan kecemasannya itu.
Pada dua halaman berikutnya di Onward, ada tulisan Ruri dengan tinta berwarna biru. Dari sana ia menyebut benda-benda milik Eky yang berwarna sama, sebuah film berjudul “Blue is The Warmest Color” dan kemudian pada paragraf terakhir, ia akhirnya mengaku bahwa warna itu adalah perwakilan atas masa kecilnya, juga bagian dari identitas yang ia pilih kini. Setelah membaca pengantar dari si fotografer, kemudian menemukan tulisan Ruri itu, yang sebenarnya adalah surat personal untuk Eky, rasanya seperti sapaan pertama untuk mengenalnya dan juga buku yang dijahit dengan benang biru ini.
Saya lalu membolak-balik tiap lembar yang banyak memakai kertas arena rough dan beberapa lembar kertas kalkir untuk memberikan kesan transparan, membuat foto dan teks berada di antara halaman itu sendiri dan gambar di belakangnya. Sebuah permainan visual yang lebih sering saya dapati di buku-buku foto. Kesempatan untuk merasakan emosi dari pilihan-pilihan material tertentu yang membuat kita bisa merasakan tekstur, melihat percobaan visual, sampai proses jilidan yang penuh eksperimentasi. Penuh intensi akan sebuah bentuk artistik.
Saya kemudian pelan-pelan membaca tulisan tangan Ruri dan juga selipan puisi-puisinya. Sering kali saya mendapati kata-kata itu yang menuntun untuk membaca foto-foto Eky. Kadang saya juga kesulitan mengenali beberapa kata karena kepayahan mengidentifikasi tulisan tangannya. Lalu kemudian saya hanya beralih menikmati foto-foto yang banyak diambil di ruangan terbuka itu. Melihat bunga, daun, atau langit yang sepertinya sengaja dipotret karena kekontrasan warnanya.
“Ruri yang pilih foto-foto ini,” kata Eky. Warna-warna kontras itu juga untuk memantik pembaca melepaskan emosi-emosi tertentu, tambah perempuan asal Maluku itu. Pada banyak halaman, Eky juga menaruh coretan, lukisan dan desain grafis Ruri. Ada yang langsung dari dinding kamarnya dan ada hasil olahan digital. Tak lupa, sekali lagi biru tetap menjadi warna yang dominan di dalam karya-karya itu. Saya senang mendapati banyak biru di buku ini. Seperti judul film yang disebutkan Ruri, saya juga sepakat bahwa blue is the warmest color.
Lapisan-lapisan itu yang membuat saya menikmati percakapan antara visual dan teks yang dilakukan Ruri dan Eky ini. Ternyata itulah yang mereka sepakati sebagai bentuk terapi seni, salah satu jenis psikoterapi yang menggunakan seni sebagai media utamanya[1].
Pada diskusi “Cerita Buku ‘Onward’: Bagaimana Foto Mengajakmu Berbicara?” di Kedai Buku Jenny (17/03/2023), Eky mengatakan bahwa ia sudah tertarik dengan metode terapi ini sejak tahun 2019. Kemudian tahun 2022, dia kembangkan ke dalam buku foto saat dirinya mengikuti PannaFoto Future Talents, program pendidikan fotografi secara daring selama satu tahun.
Ia juga menuturkan tentang perjalanannya mencari psikolog di Makassar yang menggunakan seni sebagai metode terapi. Selintas saya mengingat pernah mendapati kegiatan psikoedukasi di Makassar yang diberi judul “Paint your Feelings”, diinisiasi oleh Nina Hafidza, salah seorang psikolog yang juga menerapkan terapi seni. Ternyata Nina juga pernah ikut membahas buku Onward di toko buku Detakata.
Saya barangkali belum terlalu memahami isu kesehatan mental yang sedang dibicarakan Onward. Hal-hal tentang terapeutik dan segala metodenya juga sepertinya berada di luar jangkauan pemahaman saya. Namun bagi saya, yang membuat buku ini menarik selain dominasi warna birunya, tulisan tangan Ruri yang indah, puisi-puisinya, adalah upaya Eky untuk mengerjakan buku foto dengan inistiatif mandiri.
Eky mencetak buku 132 halaman ini di kota Bandung dengan bantuan Raws Syndicate, kolektif fotografi di sana yang juga aktif menerbitkan buku foto. Ia mengatakan untuk satu buah buku saja perlu biaya ratusan ribu. Tentu itu karena produksi buku fotonya memerlukan banyak tinta warna, pilihan material yang eksploratif, upah untuk para tim seperti penyunting dan desainer, ditambah ongkos kirim ke luar pulau Jawa. Hal-hal itu juga barangkali yang membuat saya jarang sekali mendengar fotografer di Makassar mengerjakan buku foto.
“Dari rencana awal, cuman mau cetak dua buku saja lalu terealisasi” kata Eky. Ia berbagi bahwa Onward juga bisa selesai karena bantuan modal dari teman-temannya yang dermawan. Cetakan kemudian mulai bertambah saat beberapa orang menghubungi Eky untuk memesan buku yang berukuran sekitar A5 ini. Hingga sekarang jumlahnya telah 36 buah dan ia sedang mengupayakan untuk mencetak lebih banyak agar bisa tersedia di berbagai toko buku.
“Mungkin saya punya strategi sendiri untuk publikasi. Seperti toko buku dan festival buku foto. Juga diskusi skala kecil atau besar,” tambahnya.
Selain dipajang di etalase toko dan ikut festival, saya merasa cara mengedarkan buku dengan diskusi tatap-muka adalah hal yang terlihat sepele, tapi sebenarnya perlu. Sesederhana agar tidak melulu sesuatu diperhatikan karena iklan di sosial media. Sudah cukup rasanya melihat foto-foto itu sendiri yang saat ini lebih banyak dikonsumsi melalui layar gawai.
Menurut data World Press Foundation, setiap hari ada sekitar 350 juta foto terunggah di facebook dan 95 juta di Instagram. Setiap tahun, kita membuat dan mengunggah 10 kali lipat dari jumlah foto (dari film) yang pernah dibuat dalam 100 tahun terakhir.[2]
Mengerjakan buku foto dan mendistribusikannya melalui agenda diskusi atau acara literasi & kesenian lainnya membuat fotografi bisa dinikmati dalam bentuk yang lain. Ditambah menurut saya tidak sulit untuk menemukan komunitas seni atau literasi di Makassar. Sejak lima tahun terakhir, saya melihat acara-acara kesenian & literasi mulai ramai bermunculan. Entah di cafe, studio, toko buku, perpustakaan atau ruang komunitas itu sendiri. Kadang agenda itu bahkan sangat mudah tercipta hanya dari ajakan, “Ada waktumu hari Jumat? Ayo bedah bukunya Eky”. Seperti sebuah buku foto yang perlu disentuh secara langsung, bagi saya pertemuan dan percakapan itulah yang membantu orang untuk bisa merasakan sesuatu dengan utuh.
Eky juga mengaku bahwa terapi seni yang ia bicarakan itulah yang membantunya keluar dari kesulitan berkomunikasi. Bagi saya, proses pengerjaan Onward dari pra hingga pasca memberikannya kesempatan untuk menemukan obrolan-obrolan lain di luar dari fotografi. Seperti Onward, yang dalam bahasa Indonesia artinya ‘maju’, perempuan itu melangkah ke depan untuk memperlihatkan kemungkinan yang lain dalam mengupayakan karyanya.
Aziziah Diah Aprilya, fotografer dan redaktur ArtefactID
[1] https://www.alodokter.com/mengenal-art-therapy-untuk-meningkatkan-kesehatan-mental diakses 31 Maret 202 pukul 21:16 WITA
[2] Lihat selengkapnya di publikasi penelitian See the Story, World Press Photo Foundation (2022)