Jenry Pasassan Memaknai Nilai Ke-Bapak-an

Sungguh tidak mudah memang menjalani laku kreativitas berkarya seni rupa dalam medan yang tidak memiliki oleh infrastruktur seni rupa. Makassar memang kota besar, namun belum cukup dapat menopang kehidupan berkesenian. Insfrastruktur yang dimaksud bukan hanya sekadar ruang pameran yang cukup representatif yang memang juga belum ada, termasuk juga dukungan pemerintah secara berkala, apalagi kehadiran filantrofi. Kekurangan berikutnya adalah minimnya peran mediator seni seperti kurator dan art manajemen, kemudian kritik seni dan pendukung lainnya.

Namun di balik semua kekurangan tersebut, daya-daya kreativitas tidaklah dapat terbendung para perupa telah hadir sejak lama di kota ini, mereka berdinamika dengan caranya sendiri sembari berjuang untuk kehidupan. Berkarya sebagai seniman otonom belum dapat menjadi sandaran untuk mereka hidup  nyaman, namun mereka menjalani kehidupan kreatif melalui potensi seni rupa. Sampai akhirnya muncul kesadaran untuk lebih menseriusi laku kreatif berkesenian dengan membentuk MAIM (Makassar Art Inisiative Movement). Dalam medan yang masih sangat minim tersebut semangat inisiatif dapat menjadi solusi sederhana yang digerakkan dengan semangat kebersamaan dan militansi.

MAIM bergerak bersama secara konsisten sejak tahun 2018 membuat karya-karya eksperimentatif. Tahun 2020 mengangkat tema Leang-leang Spirit dalam karya-karya instalasi di luar (outdoor installation art). Kini dalam semangat normal baru setelah berakhirnya pandemi Covid – 19, mereka kembali menyelenggarakan proyek pameran bertajuk “Presentasi Karya” pada ruang yang diinisiasi Jenry Passasan, di bilangan kota Makassar. Dalam gelaran kali ini Jenry memaknai diri dalam posisinya sebagai laki-laki, sebagai bapak/orang tua dan nilai-nilai lainnya yang melekat secara harafiah.

“Saya sendiri mencoba kreasi bentuk-bentuk figur sebagai respon atas dinamika hidup yg saya alami, tentang seorang Ayah, atau bapak, tentang saya sebagai hamba, tentang saya sebagai mahluk sosial, tentang menterjemahkan cinta menjadi nyata, tentang me time, tentang optimisme,” demikian tuturnya. Laki-laki, maskulinitas adalah bagian dari sirkulasi dualitas primal sebab akibat, yang disebut lingga-yoni. Ibu dimaknai sebagai pertiwi (bumi) dan Bapak dimaknai matahari. Memaknai nilai ke-bapak-an, sesungguhnya bukan hanya menyoal nilai maskulinitas, tetapi juga terkait dengan nilai feminimitas itu sendiri. Keduanya menyatu di dalamnya yang mendasari daya kreativitas itu sendiri. 

Ketika Jenry mencoba memaknai diri dalam persoalan ke-bapak-an, sesungguhnya otomatis menyoal dualitas hubungan antar nilai tadi. Melalui keterhubungan itulah terjadi dinamika internal dan eksternal yang melingkupi dunia kreativitasnya. Menyimak karya-karya tersebut kita berhadapan dengan dinimika dualitas nilai tersebut.

:: Wayan Seriyoga Parta, kurator & dosen Universitas Negeri Gorontalo

Bagikan:
Pin Share

Tinggalkan Balasan