Berharap Tidak Ada Timba Terakhir di Bujung Lempa

Bermula ketika mencari rumah Haji Harun di Kampung Banggae untuk keperluan wawancara mengenai aktivitasnya sebagai punggawa di pelelangan ikan di Kali Bone. Waktu itu, pada pekan pertama Agustus, petang sudah mengadang sepulang dari sana, di depan mata bentangan jalur kereta seperti benteng menghalangi pancaran jingga matahari yang akan terbenang. 

Di sisi kanan jalan tampak hamparan persawahan yang menyisakan tanah retak dan bekas gilasan mobil pemotong padi.Sekisar sebulan sebelumnya, panen musim kemarau sudah selesai. Tampak dari arah utara, sekitar 500-an meter, beberapa orang berjalan mendorong gerobak, ada juga yang menenteng jeriken.

Sepeda motor saya hentikan guna memerhatikan parade orang berjalan di pematang sawah itu, seolah berkejaran dengan waktu, semakin dekat, rupanya, mereka sedang membawa air. Azan magrib mulai terdengar, saya berlalu dan di perjalanan pulang di petang itu berkelebat di benak mengenai dulu, orang-orang di desa saya juga menempuh perjalanan yang jauh untuk mendapatkan pasokan air di musim kemarau.

Pada pekan kedua di bulan yang sama, saya kembali menyambangi Kampung Banggae, kali ini memang untuk melihat langsung aktivitas warga yang saya saksikan pekan sebelumnya. Agar berkesempatan berbincang dengan warga, saya datang lebih awal dan melihat bagaimana mereka, yang kebanyakan perempuan paruh baya dan beberapa anak-anak antre menimba di sebuah perigi di tengah area persawahan. 

Lanskap sore yang hangat memantulkan bayangan gundukan jalur kereta yang tertimpa matahari sore yang perlahan condong ke barat. Bentangan jalur kereta yang membela area persawahan serupa benteng yang menyembunyikan Kampung Banggae dari segala peristiwa yang berlangsung di dalamnya, tak jauh dari “benteng” itu, tersaji lakon warga yang berlangsung saban tahun ketika perigi-perigi di halaman rumah mulai kekurangan debit air dan perlahan mengering.

Siklus Tahunan

Memasuki musim kemarau, warga Kampung Banggae di Kelurahan Bonto Langkasa, Minasatane, Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep). Kembali menjalani parade berjalan melewati pematang sawah menuju sumur yang disebut bujung lempa, secara harfiah berarti: sumur (bujung) yang berdampingan (ma’lempa).

Penamaan sumur itu oleh Daeng Saguni (58), merujuk pada cerita yang dituturkan tetua Kampung Banggae mengenai adanya dua sumur yang berdampingan (ma’lempa). “Ini ada dua sumur yang berdampingan, seperti ma’lempa,” ujarnya menirukan cerita yang didengarkan turun temurun.

Bujung lempa berada di area persawahan warga, berjarak sekitar satu kilo meter dari permukiman. Masih menurut Daeng Saguni, aktivitas warga mengambil air sudah terjadi sejak dekade 1970. Ia mengingat waktu ia masih remaja, warga yang datang bukan hanya dari Banggae, ada juga dari kampung tetangga seperti Japing-Japing, Kalibone, dan kampung-kampung sekitar. 

“Dulu itu ramai sekali, seperti pasar kalau musim kemarau,” kenangnya.

Daeng Saguni mengisahkan lebih lanjut bila air bujung lempa tidak seperti air sumur yang lain. Airnya bisa langsung diminum tanpa mengakibatkan perut kembung. “Saya berani katakan kalau rasa air sumur ini tiada banding seantero Minasatene,” ucapnya mantap.

“Kayak ada manis-manisnya,” celetuk bocah lelaki sembari tertawa ketika saya mencoba meminum airnya langsung dari timba.

Di Pangkep, bila menyebut Minasatene, maka warga mafhum jika kawasan ini menyimpan kandungan air yang melimpah yang terpasok dari bukit karst. Beberapa perusahaan lokal yang memproduksi air kemasan bersumber dari air Minasatene. Juga, tentu saja, para pedagang air mengambil air di Minasatene untuk dijual ke warga, termasuk warga di Kampung Banggae mengandalkan para penjaja air pada musim kemarau yang airnya bersumber dari sumur warga atau dari Leang Kassi di Minasatene. 

Hj Hasaniah (53) mengutarakan kalau saat ini tidak semua warga Bangge datang ke sumur ini mengambil air. Berbeda dengan dulu, karena bukan cuma warga sini saja yang datang, warga dari kampung terdekat juga berdatangan.

“Warga yang mampu beli air, lebih na pilih beli daripada berjalan jauh ke sini,” ucapnya.

Hj Hasaniah menambahkan kalau harga air satu galon senilai lima ribu, angka yang menurutnya mahal sehingga ia perlu menyiasatinya dengan mengambil air di bujung lempa. Rutinitas mengambil air dilakukan awal pagi dan sore menjelang petang supaya tidak tersengat panas matahari. 

Seorang warga yang enggan disebutkan namanya, mengatakan jika kebutuhan mengambil air di bujung lempa, baginya, hanya untuk keperluan minum, memasak, dan digunakan mencuci sayuran atau ikan. Adapun untuk mencuci pakaian dan mandi, sumur dekat rumahnya masih bisa dipakai.

Iye, karena airnya ini sumur memang beda, di rumah saya itu airnya cukup disimpan di gentong tanah untuk kebutuhan air minum. Saya tidak perlu lagi menjerangnya,” ungkapnya.

Secara terpisah, Daeng Saguni kembali mengisahkan kalau terkadang orang menjadikan air sumur di sini sebagai obat.

Satu Bentangan Terbagi Tiga

Pada satu kesempatan memfasilitori program pelatihan di Desa Kabba pada 2022, melalui pelatihan itu, warga dan aparatur desa terlibat dalam proses perumusan analisis sosial, tentu salah satu muatannya melakukan identifikasi sejarah desa. 

Muslimin, Ketua LPM Desa Kabba pada kesempatan kala itu membeberkan fakta bahwa, dulunya Desa Kabba itu satu wilayah dengan Desa Panaikang di sebelah timur dan Kelurahan Bonto Langkasa di sisi barat. Ketiga wilayah ini bernaung dalam satu desa yang dinamai Soreang Cindea. 

Pada satu kesempatan berbincang dengan H Muh Arif, Kepala Desa Panaikang, masih tahun 2022 lalu, ia mengamini pendapat Muslimin, karena itulah, menurutnya, tugu perbatasan kedua desa disebut batas penghubung dan bukan batas wilayah. 

Ingatan warga lalu berbeda mengenai kapan persisnya terjadi pemekaran, ada yang menyebut di dekade 80-an dan ada yang mengajukan paruh awal tahun 90-an. Informasi tersebut, bagi saya, seperti memberikan penjelasan mengenai wilayah tinggal komunitas warga berpenutur bahasa Makassar dengan warga berpenutur bahasa Bugis. 

Di Desa Kabba terdapat Dusun Soreang yang dihuni warga berpenutur bahasa Makassar, sedangkan di Kelurahan Bonto Langkasa, lazim diakrabi kalau mayoritas warganya memang berpenutur bahasa Makassar, akan tetapi, di Kampung Banggae, justru berpenutur bahasa Bugis. Dan, di Desa Panaikang mayoritas warga menggunakan bahasa Bugis. Ketiga wilayah ini masuk dalam wilayah administratif Kecamatan Minasatene.

Beberapa foto saya perlihatkan kepada kawan yang tinggal di Desa Kabba, ia heran mengapa warga di Banggae masih melakoni aktivitas mengambil air di sumur terjauh hingga saat ini. Ia mengingat jika peristiwa seperti itu juga dilakukan warga di Desa Kabba pada dekade 70-an hingga 90-an, setelah pipa PDAM terpasang pada paruh akhir 90-an, praktis sumur komunal tak lagi dikerumuni di puncak kemarau.

Ia juga mengingat jika dulunya itu, warga dari Bonto Langkasa, tepatnya dari Kampung Japing-Japing mengambil air di sumur warga di Desa Kabba. Aktivitas mengambil air itu dilakukan hingga tengah malam karena si pemilik sumur menerapkan aturan supaya semua warga dapat kebagian air. Pada siang hari, yang dapat mengambil air diperuntukkan bagi warga setempat, selepas magrib barulah warga dari luar, yang dari Japing-Japing itu mendapat jatah. Hal ini dilakukan, selain warga mendapatkan air secara merata, juga untuk menghindari gesekan sosial karena di zaman itu, masih kerap terjadi saling ejek antara warga berpenutur bahasa Makassar dengan warga berpenutur bahasa Bugis.

Rahmatiah (60) terlihat mulai kelelahan karena sudah tiga kali bolak balik mengambil air di sumur di bujung lempa, ia menyeka keringat di wajahnya dengan ujung jilbab yang dikenakannya. Ia mengeluhkan jaringan pipa PDAM di Banggae yang tidak dapat diandalkan.

“Ada ji memang terpasang, tetapi tidak mengalir mi,” bebernya.

“Pertama na ji air lancar, lama-lama tidak mi,” sambung Hasaniah

“Kita itu maunya jalanan ke sumur ini diperbaiki, paling tidak bisa dilewati sepeda motor,” Rahmatiah melanjutkan.

Mengenai pembangunan jalan menuju sumur di satu sisi menimbulkan perbedaan pendapat di antara warga. Pertama, pemilik sawah ogah sebagian tanahnya dijadikan jalur pelintasan. Kedua, warga khawatir jika jalanan bagus maka warga dari kampung luar akan berdatangan.

Daeng Saguni mengisahkan kalau pada satu fase pada tahun-tahun sebelumnya, antrean warga tidak terbendung. Menurutnya lagi, membludaknya warga mengambil air mengakibatkan salah satu sumur kehabisan air dan akhirnya ditimbun.

“Saya lupa kapan persisnya sumur yang satu itu ditimbun,” ujarnya.

Dalam ingatannya, kedua sumur itu dulunya memiliki diameter sekitar lima sampe tujuh meter dan warga bisa menimbah secara bersamaan. “Saya tidak ingat mi, pembangunan mulut sumur yang sekarang dicor semen itu apakah swadaya warga atau bantuan pemerintah,” ia menambahkan.

Tak jauh dari sumur terdapat menara air, menurut Daeng Saguni merupakan bantuan dari pemerintah pusat. Menara bertiang beton setinggi lima meter itu dipasangi bak yang dapat menampung air sebanyak 1.000 liter. Proses pengisian air dari sumur bor digerakkan tenaga surya. Dari bak itu kemudian warga sisa memutar keran yang tersedia. 

Namun, lagi menurut Daeng Saguni, sumur bor itu sudah lama tidak berfungsi. Tujuan awalnya memang diperuntukkan bagi warga Kampung Banggae yang kesulitan air di musim kemarau.

“Lupa mi juga kapan itu dibangun, kalau tidak salah mungkin sepuluh tahun lalu,” ungkap Daeng Saguni.

Setelah bak penampungan itu tidak lagi berfungsi, warga kembali mengandalkan debit air bujung lempa dalam menghadapi hari-hari yang panjang saat musim kemarau. Rahmatia berdoa agar sumur yang sejak dulu ada itu tidak kehabisan air.

“Tiap kali menimba air, dalam hati saya berharap semoga besok masih ada lagi air yang bisa ditimba,” lirihnya.

Perigi Kosong di Bentangan Karst

Merespons keadaan-keadaan tersebut, tim kerja Rumah Saraung membuat instalasi sumur menjadi salah satu karya yang dipamerkan dalam Makassar Biennale 2023 di Pangkep. Bertempat di kolong Rumah Informasi Balai Pelestarian Kebudayaan di Kampung Belae yang disulap menjadi galeri, berlangsung selama sepuluh hari yang dimulai pada 1 – 10 Oktober 2023.

Instalasi bertajuk Perigi Perigi Kosong selain bentuk alih rupa dari penelitian tim Pangkep yang termaktub dalam buku Riwayat Gunung dan Silsilah Laut: Sejarah Baru tentang Air, Perkampungan, dan Migrasi di Makassar, Nabire, Labuan Bajo, Parepare, dan Pangkep (Makassar Biennale, 2023), juga merupakan respons atas mengeringnya sumur warga di permukiman yang berdekatan dengan kawasan karst.

Terdapat empat foto berukuan 10 R yang dipajang dan menjadi bagian dari instalasi sumur, foto tersebut merupakan aktivitas warga di Kampung Banggae yang berjibaku mendapatkan air dengan berjalan jauh dari permukiman.

Aktivitas warga dalam foto menunjukkan latar bentangan karst, galon raksasa yang memiliki fungsi ekologis menampung dan mengalirkan kembali air. Hanya saja, fungsi ekologis itu tak semua mencakup wilayah permukiman warga. Panjangnya siklus kemarau tahun ini semakin menunjukkan dan melengkapi betapa fungsi karst begitu dirindukan sebagai basis terakhir sumber air permanen di Pangkep.

Ady Supriadi, penggiat karst dari Kampung Belae, suatu waktu dalam perbincangan menyampaikan kalau orang-orang mungkin semakin menyadari betapa karst itu memang  menyediakan pasokan air. 

“Sejak kemarau tahun ini, mobil-mobil pengangkut air hilir mudik ke Leang Kassi hingga larut malam,” tukasnya. Leang Kassi adalah sumber air PDAM untuk wilayah kecamatan kota, Pangkajene.

Ebo (38) salah satu pedagang air yang menggunakan mobil tangki berkapasitas 5.000 liter menuturkan jika selama kemarau panjang tahun ini, ia biasa bolak-balik ke Leang Kassi delapan kali hingga larut malam untuk memenuhi permintaan air warga di Bonto Perak yang menjadi lokasinya menyalurkan air.

“Setiap penjual air sudah punya wilayahnya masing-masing, jadi tidak berebut wilayah ji,” tukasnya.

Ebo yang mengoperasikan mobil tangki milik Yayasan Pesantren DDI Ashirathal Mustaqim, semula hanya melayani kebutuhan air untuk lembaga pendidikan di bawah naungan yayasan saja, tetapi seiring waktu ada permintaan dari warga di Kelurahan Bonto Perak sehingga permintaan itu mendapat persetujuan dari pihak yayasan untuk dilayani juga.

Haeruddin (58) warga di Kampung Belae yang juga juru pelihara gua purbakala menunjukkan aliran sungai karst yang perlahan mengering. “Tidak biasanya seperti ini, kemarau tahun lalu tidak separah ini,” tuturnya.

Ia juga menunjukkan beberapa aktivitas warga yang mulai merangsek masuk ke kawasan kaki karst di sepanjang jalan masuk di Kampung Belae untuk mendapatkan air. Warga tersebut menyediakan jaringan pipa ke dalam cerukan karst yang ditarik melalui pompa mesin yang selanjutnya mengisi bak air para penjaja air.

“Biasanya itu mobil-mobil penjual air hanya mengambil air di sumur warga di bagian luar saja, sekarang mulai mi masuk ke sini,” bebernya.

Seorang petugas pemadam kebakaran (Damkar Pangkep) yang enggan disebutkan namanya, menuturkan jika aktivitas mobil pemadam mengisi air di Leang Kassi, selain untuk jaga-jaga jika ada kebakaran, juga diperuntukkan untuk mengisi tandon air di kantor Pemda Pangkep.

“Saat ini lebih banyak memang mengisi bak air di kantor-kantor,” ujar salah satu petugas Damkar.

Nilai jual air yang dijajakan variatif, disesuaikan dengan volume bak air. Daeng Udin (51), penjaja air yang menjadi langganan warga di kompleks Perumahan Riskita Residence, Bonto Perak masih melepas harga satu tandong berukuran 1.000 liter dengan nilai 35 hingga 40 ribu rupiah. Sedangkan mobil tangki berkapasitas 5.000 liter, menurut Kamal Nurdiansyah (38), warga Kampung Japing-Japing, Bonto Langkasa membayarnya 120 ribu.

“Itu kalau di kampung saya, tidak tahu kalau di kampung lain, karena penjual juga memperkirakan jarak tempuh,” ujar Kamal melalui sambungan telepon.

Ebo juga melepas satu tangki ke warga seharga 120 hingga 130 ribu. “Kalau jauh-jauh jaraknya, dikasih naik sedikit,” ucapnya.

Keberadaan karst yang menyimpan pasokan air menjadi sorotan Husain ‘Cenk’ Abdullah dalam karya muralnya di tembok pagar Pengadilan Negeri Pangkajene dengan teks: Karst Sumber Air yang Menghidupi.

Sebagai salah satu seniman residensi di Makassar Biennale 2023 di Pangkep, Cenk merespons isu air dengan mural di tiga titik. Selain di pagar pengadilan, juga ada di tembok bekas kantor perwakilan PDAM Pangkep di Leang Kassi bertuliskan Deburnya kian Menghilang dan tembok rumah kantor Rumah Saraung dengan teks Mata Air dan Air Mata. Ketiga mural tersebut membunyikan isu air yang dialami warga Pangkep. Dari ketiganya hendak menyuarakan kalau Pangkep sedang mengalami darurat air.

Kata karst sendiri, sesungguhnya, berdasarkan hasil obrolan yang telah didengungkan sejak 2021 melalui sejumlah pendekatan seperti penerbitan buku dan rangkaian diskusi, rupanya masih mengalami keterhambatan pemaknaan. Warga masih akrab dengan kosa kata ‘gunung’ ketimbang menyebut bentangan bukit kapur tersebut dengan sebutan ‘karst’.

Gunung dalam bahasa Makassar dan Bugis di Pangkep disebut: bulu’, kata ini tentu lebih dipahami. Warga di Kampung Belae sendiri masih sangat terbatas mengidentifikasi bentangan kawasan batu gamping yang mendindingi kampung mereka dengan sebutan karst.

Gandhi Eka, seniman komik asal Bandung yang juga menjalani proses residensi dan tinggal di Kampung Belae selama sebulan, mengumpulkan banyak bahan dari interaksinya dengan warga, ia menyimpulkan kalau informasi mengenai fungsi karst sendiri masih sangat sedikit.

“Hal ini mungkin karena di sekolah sendiri belum ada pelajaran khusus terkait kawasan karts,” ucapnya.

Sebagai seniman komik, ia lalu membuat komik bertajuk Tamasya Purbakala yang diharapkan dapat menjadi muatan lokal di sekolah. 

“Warga, khususnya, anak-anak sebagai pemegang era yang akan datang perlu tahu sejak dini kalau kawasan karst ini sudah dihuni sejak puluhan ribu tahun lalu, karena kawasan karst ini menyediakan sumber kehidupan seperti flora dan fauna dan, tentunya, ketersediaan air yang mencukupi,” pungkasnya.

Asri (41) Ketua RT di Kampung Belae banyak mendorong keterlibatan warga untuk mulai menerapkan pertanian organik. Menurutnya, dengan pertanian organik diharapkan memberi kontribusi pada kestabilan ekosistem di Kampung Belae. Ia memang sering mengikuti sejumlah pertemuan yang dilakukan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS). Di rumahnya juga telah menggunakan perapian dari biogas sehingga bioslury atau bubur ampas yang dihasilkan dari instalasi biogas bisa langsung digunakan sebagai pupuk organik.

Secara khusus ia tidak menyebutkan mengenai kontribusi untuk menjaga ekosistem karst, yang ia tahu kalau kampungnya akan ramai di musim kemarau karena orang-orang akan datang mengambil air. 

“Kebutuhan air warga Belae sejauh ini masih cukup, setiap sore juga saya selalu menyiram kebun dengan air dari sumur bor yang ada di kebun,” ujarnya.

Kembali menurut Ady, upaya yang dilakukan dalam menjaga kelestarian karst perlu selain dari bawah, juga perlu dukungan dari atas, pihak pemerintah, misalnya, sudah perlu memikirkan satu kebijakan berupa adanya regulasi khusus mengenai kawasan karst agar menjadi pagar hukum.

:: F Daus AR, bergiat di Rumah Saraung, Pangkep.

Bagikan:
Pin Share

Tinggalkan Balasan