“Kasih naik mereka itu!”
Sorakan serentak penumpang memenuhi ruangan luar Dek 7 kiri KM Labobar lalu menggema ke arah dua petugas Pelabuhan Sorong di anak tangga bawah kapal. Puluhan penumpang lanjutan yang menonton hilir-mudik penumpang baru dari atas kapal itu terganggu dengan pemandangan sepasang kekasih tertahan naik ke atas kapal.
“Ini penting! Kasih tahu dong bilang orang tua meninggal di Ambon. Masa dong mau tahan tuh. Nanti di atas kapal baru beli tiket,” jelas pria di depan saya yang terhubung dalam sambungan telepon dengan sepasang kekasih di bawah itu.
Kalimat itu disambar seorang ibu enam puluhan tahun dengan cekatan berjalan mendekat sejajar dengan tangga kiri kapal dari Dek 7 sambil berteriak ke arah petugas kapal. Setelah teriakan-teriakan dan sedikit umpatan, sepasang kekasih itu akhirnya diperbolehkan naik ke atas kapal.
Ibu itu naik juga dari Pelabuhan Sorong mengantar kerabatnya, seorang pria paruh seusianya yang sepanjang perjalanan mesti ia urusi keperluannya, seperti makan, ke toilet, dan minum obat, juga menenangkannya ketika kesakitan. Tak jelas sakit apa. Yang pasti ia sulit berjalan bahkan berbicara. Ia hanya berbaring saja di atas kasur kapal. Ibu itu juga agaknya tak beli tiket resmi PELNI. Sebab ia tak punya kasur. Ia juga naik tanpa banyak bawa barang.
“Selamat tinggal, kam semua. Tempat tong sama-sama cari makan,” ibu itu menggoda para pedagang asongan yang buru-buru turun dari atas kapal. Mereka sangat akrab. Dari sana saya menyadari, ia bagian dari mereka yang hidup mencari nafkah di pelabuhan Kota Sorong. Ucapan itu bersambut tawa kecil dari para pedagang asongan.
Bunyi stom kapal mengakhiri pemandangan itu. Ibu-ibu berbaju biru itu duduk sebentar di kasur kerabatnya. Di bagian ujung, ia menaruh pantatnya sambil sesekali memijat kaki kerabatnya. Tepat di belakang ibu-ibu itu, seorang pria paruh baya baru saja menelepon anak laki-lakinya di Nabire. Dengan penuh kasih ia memberi saran untuk tidak melawan pada ibunya selama ayahnya itu tak ada. Juga agar tidak mengusili adik perempuannya.
Pria paruh baya itu berangkat ke Ambon untuk melihat jasad ibunya terakhir kali. Sayangnya ia juga tak ada waktu lagi. Sebelum tiba di Pelabuhan Sorong, ia bertekad untuk membeli tiket pesawat saja agar bisa tiba tepat waktu. Sayangnya penerbangan menuju Ambon tak tersedia hari itu. Ia mesti tunggu keesokan harinya, bersamaan dengan tibanya kapal ini di Pelabuhan Ambon. Dengan suara memelas, ia bilang pada kerabatnya lewat panggilan telepon untuk menguburkan saja ibunya hari itu juga.
Bersamaan dengan berakhirnya panggilan telepon pria itu, juga kapal yang pelan-pelan bertolak dari pelabuhan, saya pergi menuju ke arah bagian luar Dek 7 kapal untuk sekadar jalan-jalan dan merenungi ini semua. Saya jadi ingat almarhum Bapak yang tak sempat juga saya lihat sebelum ia dikuburkan. Pasalnya, meski sudah pakai pesawat dari Makassar menuju Manokwari, mobil yang kami tumpangi tak bisa tembus ke Bintuni, tempat ayah, ibu, dan kakak saya tinggal waktu itu. Jalan yang dipenuhi lumpur itu begitu licin dan dalam, setelah guyuran hujan sepanjang hari. Jadinya kami mesti menginap di jalan dan membiarkan perjalanan terakhir Bapak menuju kuburan itu tanpa kehadiran saya.
PELAYARAN, entah dalam durasi singkat atau begitu lambat seperti yang saya alami, lima hari enam malam melewati pelabuhan Manokwari, Sorong, Ambon, Namlea, Bau-Bau, lalu tiba di Makassar pada awal Agustus 2024, membikin saya menyadari tumbuhnya empati pada sesama manusia. Saya lihat banyak hal-hal seperti ini selama pelayaran berlangsung. Misalnya dalam satu pelayaran saya dari Makassar menuju Nabire selama tujuh hari, dua tahun silam, seorang pria paruh baya memegang karton menaiki tangga kapal sampai di depan ruang informasi. Ia tiba-tiba menyadari dompetnya hilang bersama tiket kapal di dalamnya. Beberapa orang menghampiri sambil mengucapkan semacam belasungkawa, sambil berusaha membantu pria itu mencari kira-kira siapa saja orang di dekatnya dari tangga hingga naik ke kapal. Tapi hasilnya nihil. Semua orang tahu, jika tak tangkap tangan, pencurian di atas kapal sulit sekali berakhir dengan penemuan pelaku. Pasalnya mereka berkelompok dan mengetahui seluk-beluk kapal dengan segala celah untuk bersembunyi sementara waktu.
Petugas kapal yang berada di ruang informasi mendatanginya. Para penumpang pasang badan agar pria itu tetap boleh berlayar sampai tujuannya. Inisiatif-inisiatif yang membikin haru muncul seketika. Ada yang ingin mengajak bapak itu agar tidur di kamar kelasnya. Hanya saja dilarang oleh petugas lantaran kamar itu bisa saja sudah dipesan penumpang lain. Ada juga yang setiap jam makan mengambil jatah makannya untuk diberikan pada pria itu sebab ia punya tiket dan tak ingin makan makanan di atas kapal. Ada juga yang membawakannya air minum kemasan.
Dalam moda transportasi kapal, perasaan-perasaan empati tumbuh dengan cara-cara seperti itu. Ini bisa jadi lantaran melihat atau mengalami langsung kejadian-kejadian buruk di atas kapal. Saya pernah kecurian di atas kapal. Ini membikin saya lebih was-was dan tak merasa tersinggung ketika penumpang lain berlaku sama bahkan ketika ia tidur di samping saya. Malah kami saling bantu jaga untuk bantu lihat orang-orang mencurigakan di sekitar kami pada waktu-waktu larut malam. Kami mengalami waktu bersama yang cukup lama. Sehingga tak ada cara lain, tentu saling bantu biar setiap orang merasa aman dan nyaman selama berada di atas kapal.
Ini juga membikin kami menoleril banyak hal. Misalnya anak-anak kecil yang rewel sepanjang perjalanan, justru tak membikin kami marah. Ini malah bikin kami kasihan pada ibunya lantaran ia punya waktu istirahat lebih sedikit daripada kami. Tak jarang, penumpang di kiri kanan ibu itu membantu ajak main anak kecil itu agar ibunya bisa rehat sejenak jika ia tak berlayar bersama keluarga.
Seorang kawan, Yogi, pernah menegur seorang pria paruh baya yang merokok di dalam kapal. Kesadaran ini dipicu oleh matinya pendingin ruangan akibat asap rokok. Anak-anak kecil jadi kepanasan dan rewel. Juga banyak penumpang yang jadi tak tenang tidurnya selama perjalanan akibat asap dan kepanasan tentu saja. Sebenarnya tak ada yang protes soal ini. Anak kecil yang menangis sepanjang waktu juga orang-orang yang merokok di dalam kapal selalu menemukan pemakluman seperti mabuk laut atau kebosananan yang dialami semua orang.
Ini mungkin karena semua orang akhirnya melambat. Pengalaman atas ruang menjadi penting dan tak sekadar memindahkan manusia dari satu tempat ke tempat lain, tapi proses mengalami dan meresapi ruang-ruang itu turut pula menjadi satu perayaan atas terbentuknya subjektivitas manusia.
Ini seperti gejala bahasa kefasihan dalam diam, ketika kata-kata dan kalimat terdiri atas diam yang lebih bermakna daripada bunyi. Dalam hal ini penumpang di atas kapal diajak untuk fasih dalam kebisuan. Waktu yang melambat memaksa manusia untuk lebih banyak hidup dalam jeda dan keheningan yang memiliki jeda dan keragu-raguan, ritme, ekspresi, dan perubahannya. Jeda itulah yang kemudian membuat manusia memungut juga melepaskan banyak hal untuk membentuk diri kita yang baru, juga sebagai bagian dari sejarah kepribadian diri kita. Ibarat sebuah roda: yang menjadi pusat adalah kata-kata yang terucapkan – tapi yang membentuk roda adalah justru ruang-ruang kosong di antara itu.[1]
Hal ini membikin saya banyak merenung. Di atas tangga yang menghubungkan tiap geladak kapal, di hadapan jam dinding, saya mulai menyadari perbedaan cara hidup “timur” dan “barat” dari cara mereka pindah antar pulau. Transportasi murah yang paling mungkin dijangkau adalah kapal. Sehingga memungkin pertemuan-pertemuan manusia terjadi. Proses inilah yang membuat mereka tetap terhubung satu sama lain lantaran mengharuskan interaksi antar manusia, terlebih lagi dalam kondisi kehilangan jaringan internet. Memang menggunakan pesawat terbang juga mesti kehilangan akses internet. Tapi waktu tempuh yang cepat juga para penumpang yang hidup dalam percepatan waktu itu lebih pilih tidur alih-alih bercerita dengan penumpang lain.
Di atas kapal, sebelum kapal sandar, puluhan buruh bagasi dan pedagang asongan berbaris di dekat tangga. Mereka berdesak-desakan untuk saling mendahului menjajakan jasanya pada penumpang yang akan turun atau naik dari kapal. Tak jarang desak-desakan itu melahirkan perkelahian antar sesama mereka. Tapi itu tak akan lama lantaran tujuan utama mereka datang adalah untuk mencari nafkah, bukan mencari lawan. Begitu tangga kapal dinaikkan, gemuruh lantai kapal menggema hingga ke segala penjuru. Begitu riuh.
Setelah itu desak-desakan tangga penumpang mulai terjadi. Kemacetan manusia acapkali terjadi lantaran beberapa penumpang membawa terlalu banyak barang untuk diletakkan pada kasur yang akan ia tempati. Kenyamanan benar-benarlah hal yang hampir absen di atas kapal. Belum lagi toilet yang tersumbat dan menguarkan bau tak sedap.
Ini juga barangkali yang dilihat sebagai budaya tinggi dan budaya rendah. Pesawat tentu saja mewakili budaya tinggi, sedangkan kapal sebaliknya. Dengan contoh semacam ini, ada dasar bahwa kualitas estetik berbagai bentuk kebudayaan tinggi “memang” lebih halus, rumit, dan layak dalam ekspresi formalnya, dibandingkan dengan kebudayaan populer, yang selalu dituduh merendahkan standar selera dan hanya mendukung serta mendorong kenyamanan dalam rayuan komersialnya. Kriteria semacam itu mengacu kepada suatu hierarki berbasis kelas dan kelembagaan berbagai selera dalam kebudayaan.[2]
Tapi ini tak sepenuhnya soal selera. Ada persoalan lain seperti ekonomi dan infrastruktur yang kadung tak mendukung “kemurahan” ongkos untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain di Indonesia, utamanya timur. Kapal laut jadi transportasi paling masuk akal alih-alih merogoh kocek seharga gawai terbaru hanya untuk berpindah kota. Tak ada pilihan lain.
Boleh jadi itu juga adalah keuntungan. Orang-orang di Indonesia timur akhirnya menghadapi hidup lebih pelan dari orang-orang di barat. Ada lebih banyak jeda, ada lebih banyak perenungan yang bisa terjadi, atau juga sekadar berdialog dengan diri sendiri. Situasi ini memungkinkan kita tak berpindah lebih cepat, menjadi penumpang percepatan yang menjadikan rumah hanya sebagai tempat transit semata.
Obrolan seputar ini terjadi antara saya dan Yogi, ketika duduk-duduk di tangga menyaksikan lalu lalang orang yang hanya naik turun tangga. Kami membayangkan jika hidup di kota yang intensitasnya lebih cepat dan ramai, bakalan seperti apa kami bertiga nanti.
KAMI TIBA di Makassar tanggal lima Agustus pada jam tujuh malam. Lepas dari pelabuhan, kami menuju ke Kampung Buku, tempat Bakkā dijalankan. Rencananya kami akan berada tiga mingguan di Makassar untuk workshop yang diinisiasi Tanahindie melalui Makassar Biennale ini. Sewaktu tiba, kami disambut oleh beberapa orang yang baru saja bubar dari forum. Lepas berkenalan satu per satu, kami bertiga berpencar mengobrol dengan kenalan-kenalan baru itu.
Yogi sedang berbincang dengan Ibnu Rifai, seorang peserta yang datang dari Lembata, Nusa Tenggara Timur. Obrolan mereka soal musik hip-hop yang memang belakangan menandai musik-musik timur sebagai sebuah kekhasan dalam bermusik. Obrolan itu cukup intens hingga Rifai mesti putarkan lagu-lagu yang dimaksud dalam saluran YouTube untuk ditonton berdua. Pertemuan dan obrolan itu dimungkinkan langgeng lantaran kesamaan selera musik dan lingkungan yang sama-sama ditumbuhi banyak sekali musisi hip-hop.
Dalam catatan kuratorial Bakkā, ruang-ruang pertemuan semacam ini, bertatap muka untuk saling memahami, belajar bekerja sama, bertukar pikiran, dan, tak kalah penting, membentuk jaringan. Meski dibentangi letak geografis yang berjauhan, rupanya ada kesamaan yang sudah lebih dulu terbentuk antar para peserta. Misalkan dalam kasus Yogi dan Rifai, musik hip-hop menjadi jembatan komunikasi mereka.
Di hari kedua workshop Bakkā, kami memperkenalkan diri. Saya sebagai fasilitator yang menemani Yogi dan Jhon selama pelayaran residensi di atas kapal, memperkenalkan Kolektif Stereo pada pemuda-pemudi di depan kami. Setelah perkenalan, Yogi dan Jhon menceritakan pengalaman residensi mereka selama berada di atas kapal laut. Saling tanya jawab terjadi dengan cepat dan akhiri dengan kelanjutan para peserta mempresentasekan data dan rencana karyanya.
Sejak perkenalan itu hingga selesai, saya tak berada di dalam forum. Lebih banyak melihat segala yang terjadi dari halaman rumah Kampung Buku.
“Forum-forum seperti ini sudah jarang sekali ada. Peserta mesti menginap bersama di satu tempat untuk workshop,” jelas Kak Jimpe siang itu. Saya belakangan juga menyadarinya. Selama ini, banyak sekali workshop yang dibuat dalam durasi singkat. Terlebih lagi peserta yang tak tinggal dalam satu tempat membikin banyak momen menjadi hambar, bahkan tak ada. Kesempatan-kesempatan bertanya di luar forum saya pikir jelas penting untuk lebih saling memahami antara peserta. Obrolan-obrolan lepas yang justru menangkap lebih banyak keakraban alih-alih duduk dalam forum dan setelah itu pulang ke rumah.
Workshop ini pun berlangsung tidak dengan cara-cara formal. Para peserta dibebaskan merokok dan duduk senyaman mungkin selagi tetap mendengarkan kawan yang lain mempresentasikan karya. Sebab ini juga penting: mendengarkan orang lain.
Pemuda-pemudi itu akhirnya bisa memahami latar belakang calon rekan mereka dalam berjejaring kelak. Apa yang memungkinkan untuk dikerjakan bersama, atau barangkali sekadar mengetahui untuk membangun kerjasama. Proses ini penting juga untuk membantu sesama peserta untuk saling beri pandangan pada tiap karya yang akan mereka rancang. Bukan hanya itu, ada juga pengalaman estetis yang sama, yang barangkali juga bisa berupa masukan-masukan, atau data baru untuk pengembangan karya peserta lainnya.
“Saya baru dapat workshop yang modelnya santai begini,” ucap hampir seluruh peserta ketika saya menonton wawancara mereka di halaman belakang Kampung Buku. Ini membikin saya menyadari setidaknya dua hal: workshop yang dikelola dengan cara yang lebih cair dan pembelajaran yang lebih efektif. Ini padanan yang agaknya mesti selalu ada dalam setiap workshop. Di lain sisi, banyak sekali workshop yang ingin efektif, tapi di sisi lain justru bikin peserta tidak nyaman lantaran kepadatan yang berulang, misalnya untuk skenario waktu saja penjadwalannya begitu ketat dan jarang dikelola dengan improvisasi ketika melihat situasi forum. Kejenuhan merupakan keniscayaan yang pasti bakal terjadi.
Dalam satu sore di workshop Bakkā, peserta tiba-tiba disuruh keluar memungut lima benda dari tumpukan sampah yang menggambarkan diri mereka. Pemuda-pemudi itu lalu berhamburan keluar. Sepanjang pencarian itu, mereka menunduk, mengamati, bukan saja sampah. Saya meyakini mereka juga sedang mencari riwayat diri mereka di sana. Benda apa yang kira-kira terhubung dengan diri mereka. Tak jarang ada pecah tawa, lantaran hubungan-hubungan itu kadung mengandung komedi. Rifai misalnya, menangkap ayam putih lantaran bukan hanya saja ia berkulit putih, albino, tapi ia hubungkan ayam itu dengan ritual-ritual yang ada di kampungnya, Lembata.
Proses ini juga bagi saya merupakan semacam cara untuk melihat keterhubungan antar mereka lewat benda. Simbol-simbol yang mungkin saja punya sejarah yang sama meski datang dari latar belakang berbeda. Anwar Jimpe Rachman, dalam satu waktu di sela-sela pameran berlangsung, bilang upaya ini untuk bantu mereka menghadirkan simbol-simbol, juga untuk membantu mengingat apa saja yang mungkin mereka buang dan anggap sepele jadi sesuatu yang justru menggambarkan sekaligus menceritakan dirinya.
Upaya ini menjadi penting sebab para peserta mengalami kepusingan bersama dalam mengidentifikasi dirinya, meramu data, juga pada akhirnya menghadirkan karyanya sebagai simbol. Tapi ini juga dinamika yang pada akhirnya membikin cara workshop ini menjadi efektif. Ada persilangan ide, ada juga upaya untuk saling bantu dan berempati dengan orang di sekitar mereka. Hanya dengan berkumpul, kepusingan-kepusingan itu diurai seperti benang lantaran banyak mata dan tangan yang bantu.
Workshop ini membikin saya merasa masih ada di atas kapal. Pelayaran yang begitu lama, hanya bedanya ini lebih tak terasa. Mungkin karena saya lebih banyak berdiam diri di atas kapal. Pada pelayaran workshop Bakkā ini, saya barangkali seperti apa yang dijelaskan Yogi pada karyanya “Lautan Waktu”: orang-orang dengan waktu normal, mereka yang menjadikan kapal sebagai rumah dan mengalami kapal sebagai penghidupan. Saya merasa lebih hidup dan mungkin mengalami pelayaran ini sebagai rumah, tempat di mana banyak hal dimungkinkan. Tempat kita semua bertumbuh.
Saya melihat workshop Bakkā ini bukan saja soal membikin karya untuk berpameran. Ini juga menyangkut cara berpikir dan cara bekerja. Masa-masa bakkā atau tumbuh saya ditandai dengan minuman keras juga perkelahian. Dua hal yang pada akhirnya sudah tak saya nikmati lagi lantaran memang hanya tumbuh akibat tak ada cara lain untuk tampil di kerumunan. Ini bisa terjadi lantaran sekolah tempat belajar justru tumbuh sebagai ruang untuk berkompetisi alih-alih belajar. Bagi kami yang tak punya bakat atau hanya punya modal mau belajar ini tak diakomodasi. Sekolah hanya akan memilih murid-murid pintar dan jago untuk mewakili mereka.
Dalam workshop Bakkā, kebanyakan adalah orang-orang yang diajak berkarya tanpa lebih dulu ditinjau lewat kemampuannya. Entah dia jago atau tidak, asal ada kemauan, ia boleh saja bergabung. Ruang-ruang seperti ini penting untuk mengakomodasi semua orang, juga tak membikin workshop jadi monoton lantaran semua orang berpikir dengan cara yang sama. Urusan karya, ada saja cara untuk menyajikannya. Justru penekanannya ada pada apa yang kita punya atau apa saja yang bisa kita dapatkan sebagai informasi, ajakan, dan lain-lain, untuk dijadikan latar belakang karya.
Kesempatan-kesempatan seperti ini bukan saja dihilangkan oleh sekolah, juga oleh banyak sekali institusi, bahkan kalau kita mau sebut, juga dihilangkan oleh komunitas-komunitas dan ruang kreatif lainnya. Yang lebih sering terjadi, fasilitator dihadirkan hanya untuk menjelaskan caranya membuat karya seperti yang ia lakukan, tanpa memberi cara lain untuk membuat karya seperti itu. Maksud saya, tak ada kesempatan eksplorasi bersama fasilitator lantaran lagi-lagi, durasi yang begitu singkat dalam banyak kesempatan workshop yang diadakan. Apalagi yang dihadirkan adalah barang jadi, karya yang sebenarnya melewati banyak sekali proses.
Dalam workshop ini, fasilitator utama memang hanya satu orang, Anwar Jimpe Rachman. Ia yang menemami peserta dari awal hingga akhir. Tugas fasilitator dari lima kota merespons ketika peserta bertanya pada mereka atau juga membantu picu mereka menemukan jalan keluar dari kesulitan-kesulitan yang dialami. Rupanya ini juga efektif. Anwar Jimpe Rachman bilang kalau cara ini bantu jaga ritme peserta, ketika orang yang mereka temani dari awal adalah orang yang sama. Agar hal-hal yang sejak awal cair itu, tetap seperti itu hingga akhir. Tidak dibekukan lagi oleh orang-orang baru yang tiba-tiba hadir di tengah mereka.
Rasanya memang intensitas waktu bersama orang yang sama memungkinkan banyak hal. Keterhubungan, empati, saling memahami, dan lain-lain, tumbuh penuh sepanjang perjalanan. Hal ini tumbuh begitu saja tanpa diminta. Meski begitu tetap mesti ada upaya. Misalnya, usaha-usaha untuk menyerahkan diri sepenuhnya pada waktu dan apa-apa yang tersedia di sekitar kita.
“HARUS bikin karya ‘kah?” Jhon lontarkan pertanyaan itu semasih kami bertiga, bersama Yogi, ngobrol di kamar kos tempat rehat sepanjang program ini, sebuah indekos berjarak hanya dua puluhan meter saja dari Kampung Buku. Yogi juga sebelumnya bersoal hal yang sama. Keduanya datang tanpa tahu bakal terlibat dalam proses kekaryaan. Jhon datang dengan ihwal bakal ikut workshop menulis. Lain lagi Yogi, ia datang sebagai fasilitator. Saya memang sudah curiga bakal ada skema seperti ini lantaran hanya bisa temukan satu seniman untuk diajak ikut workshop Bakkā.
Julio datang lengkapi kuota yang disediakan untuk kami dalam program Bakkā ini. Ia juga belakangan jadi semacam bukan juga jawaban, tapi pemicu untuk jawab kebingungan Yogi dan Jhon yang kali pertama mesti bikin karya seni. Apa yang saya bayangkan pada mulanya, Julio akan lebih banyak membagikan pengalamanya dalam kesenian, sebab ia memang menyekolahinya. Tapi rupanya itu tidak juga jadi eksklusif seperti itu. Obrolan antar mereka lebih cair dan saling mengisi dalam memersepsi karya seni. Misalnya, Yogi banyak menceritakan pendekatan karya yang lebih subjektif. Ia dengan pengalamannya menenami seniman di Makassar Biennale, utamanya di Nabire, menceritakan proses-proses pendekatan seniman dalam membuat karya yang lebih memperkuat data ketimbang mengurusi estika meski itu juga penting.
Data memang jadi titik penting dalam proses ini. Anwar Jimpe juga selalu menekankan ini dalam workshop dengan berbagai cara. Misalnya, ia selalu beri pertanyaan-pertanyaan pemicu untuk memberi peserta lebih banyak detail dalam datanya. Hal ini belakangan disadari oleh mereka ketika berhadapan dengan pengunjung di dalam galeri. Banyak sekali pertanyaan yang muncul dari pengunjung yang pada akhirnya, karena cukup detail, para peserta ini bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
Soal data inilah yang bikin ketika Jhon menyebut akan membuat karya setelah melihat mee tawa, saya dan Yogi pukul dahi keheranan, “Sebenarnya itu pas. Tapi ko tidak pikir ‘kah bagaimana ambil datanya?” ucap Yogi pada Jhon ketika kami bertiga terlibat lepas workshop.
Keheranan itu bukan tanpa sebab. Kami berdua hanya memikirkan bagaimana kelak Jhon akan berkeliling di daerah-daerah pegunungan sekitaran Nabire untuk menggali informasi soal ini. Pasalnya di daerah perkotaan Nabire sudah jarang ditemukan praktik merokok ala orang mee ini. Bukan juga meragukan, Jhon lebih banyak sibuk di kota, juga kami tahu ia punya kesibukan sebagai wartawan yang mesti kejar berita tiap hari. Tapi apa boleh bikin, ia sudah menggebu-gebu ingin menampilkan itu.
Mee tawa bagi kami sangat penting untuk didokumentasikan. Maka dari itu, dalam obrolan Kolektif Stereo, ia jadi salah satu hal yang sudah kami inventarisir sebagai bahan riset. Tapi kami pikir mesti siapkan waktu yang cukup panjang lantaran jarak dan akses ke daerah pegunungan di Papua umumnya cukup menantang. Ketika Jhon putuskan untuk meneliti mee tawa, saya hanya pikir mungkin memang sudah waktunya. Hanya saja ketika melihat ia mengerjakan karyanya, saya kadung keheranan.
Sudah hampir pagi jelang pembukaan pameran di sore hari ketika Jhon baru bangun dari tidurnya. Saya lagi bantu tim produksi mengecat meja display karya seniman. Semalaman saya memang sengaja tak bantu dia bikin karyanya lantaran selama proses pengaryaan, ia jarang sekali berinisiatif untuk menyelesaikannya.
“Sa su marah dia tadi pakai bahasa (suku Mee),” jelas Yogi ketika kami berdua akhirnya berdiri berhadapan melihat karyanya yang hanya baru jadi lantainya dua hari sebelum pameran. Ketika itu, saya baru saja selesai ukur tiang penyangga atap karyanya itu, “Ukurannya segini, kaka,” ucap Jhon menunjukkan angka pada meteran yang ia bawa. Saya hanya ketawa kecil sebab ia baru mengukurnya setelah saya menyuruhnya hampir setengah jam yang lalu. Itupun setelah saya selesai mengukurnya sendiri.
Saya kadang agak protes ketika Anwar Jimpe bilang tidak mesti seniman yang bikin karyanya sendiri sebab kadang juga disalahartikan. Hal ini yang mungkin terjadi pada Jhon. Meski belakangan, saya tahu Jhon dan Yogi cukup merasa jengkel dengan tim produksi yang menyuruh mereka pergi cari dan beli bahan-bahan sendiri padahal mereka tak tahu arah dan lokasi tokonya. Padahal, ini juga mestinya jadi semacam proses mengenali tempat mereka berpameran.
Belakangan saya menyadari, mungkin saja Jhon kebingungan sebab ini pameran pertamanya. Atau mungkin saya sebagai fasilitator, yang juga cukup tahu soal kota itu, yang salah sebab tak jadi ‘juru selamatnya’ ketika butuh sesuatu. Kemungkinan lain yang saya pikirkan, kami hidup di tempat yang intensitas kreatifnya cukup lambat dan cenderung berulang. Konsekuensinya, kami tumbuh jadi pribadi yang lebih santai bahkan seperti menggampangkan sesuatu. Sebab juga mungkin bekerja dengan template semata.
Cara Julio bekerja yang memunculkan kemungkinan itu. Tiga hari ia putuskan tinggal di lokasi pameran untuk mengerjakan karyanya. Hari terakhir setelah saya ingin baring sebentar, tiba-tiba ia menangis lantaran dapat kabar kawan baiknya meninggal. Ia bilang baru buka gawai sejak semalaman mengerjakan karya. Ini membikin saya sadar, ada semacam upaya lebih ekstra untuk menyelesaikan sesuatu.
Selain karena ia memang seniman, kecekatannya bagi saya tak tumbuh begitu saja. Ada ekosistem yang turut andil jadi bagian sejarah kepribadiannya. Salah satunya barangkali persoalan bekerja bersama. Ini juga akhirnya penting bagi kami di Nabire untuk juga mengalami hal semacam ini lebih sering agar memunculkan upaya-upaya inisiatif dan kreatif. Bukan tanpa alasan, kerja kolektif kami di Nabire dalam setahun, hanya mungkin paling banyak dalam tiga program komunitas. Itupun dalam bentuk yang cenderung sama: menginisiasi diskusi. Di Jayapura, kegiatan begitu beragam. Apa yang terjadi misalnya di komunitas tempat Julio belajar, Indonesia Art Movement (IAM), punya beragam program dan dalam intensites yang cukup tinggi. Belum lagi program-program kerja sama dengan komunitas lain.
Mungkin tidak adil membandingkan keduanya dalam soal intensitas, sebab Jayapura diberkahi lantaran menjadi pusat pendidikan, khususnya di Papua, yang memungkinkan banyak sekali sumber daya terserap ke sana, selain juga menjadi ibukota Provinsi Papua yang memungkinkan banyak hal terjadi dalam skala besar. Ini ditandai dengan banyak sekali orang-orang dalam skena seni dan literasi yang lebih dulu merintis di Jayapura. Tapi perbandingan ini penting untuk membangun individu-individu dalam skena itu, juga membuat kami memahami bahwa ini bagian dari proses bertumbuh dan belajar bersama. Meski begitu, ini jadi keuntungan juga untuk kami di Nabire lantaran lebih banyak kesempatan untuk salah dan memperbaikinya sebab tak ada tuntutan bekerja secara profesional dan cepat karena banyak “persaingan” antar komunitas.
Hal itulah yang mungkin mesti dilakukan Jhon. Memperbaiki apa yang dianggap salah selama proses berkaryanya. Yogi mungkin lebih cenderung memahami dengan cepat apa yang mesti dilakukan lantaran sudah cukup sering bersentuhan dengan seniman, sehingga lebih inisiatif dalam mengerjakan karyanya. Ia juga tak jarang mesti menegur dan arahkan Jhon ketika tiba-tiba kebingungan dalam mengerjakan karyanya.
Kebingungan-kebingungan ini juga banyak melanda peserta lain. Belum lagi pikirkan estetika, data-data yang diangkat kadung masih bergaya kuliahan yang terlalu umum dan meringkus banyak detail ke dalam definisi-definisi yang agaknya membikin banyak orang jadi seperti kelihatan malas lantaran terlalu menyederhanakan sesuatu. Padahal ada konteks yang melatari setiap hal yang diangkat.
Meski begitu, ini tidak begitu jadi masalah sebab banyak peserta yang tidak datang dari lingkungan kesenian. Juga mendapat pemakluman lantaran mereka rata-rata masih sedang dalam proses berkuliah, dan yang terpenting, ini rata-rata jadi pameran pertama mereka.
LOKAKARYA dan pameran Bakkā ini penting untuk kami di Kolektif Stereo. Dengan ragam praktik yang kami lakukan di Nabire, rupanya cara bekerja itu perlu diujicobakan bersama banyak orang. Apakah selama ini kami saling menghayati satu sama lain, atau justru hanya menyimpan ketidakpahaman dalam diam. Rupanya selama workshop kami banyak sekali kebingungan antar satu sama lain. Kami jadi mesti memeriksa diri kami sendiri, apakah selama ini benar berada pada cara berpikir dan cara bekerja yang sama, tidak dalam artian seragam, namun lebih kepada hal-hal prinsipil yang mendasar praktik-praktik kami.
Jhon dan Yogi adalah dua kawanan bersama saya dalam workshop ini. Ada banyak sekali miskomunikasi yang berakhir dengan benturan-benturan kecil. Misalnya soal bentuk karya, material karya, dan lain-lain. Ada juga soal-soal prinsipil seperti mengambil inisiatif-inisiatif mandiri yang kadung tak berjalan mulus, mungkin juga karena kami sibuk saling menasihati. Akhirnya kekacauan tak bisa dihindarkan, meskipun hal-hal semacam ini, hal-hal prinsipil, sering kami pertimbangkan jika praktik bersama. Ini jadi catatan bersama kami sebagai komunitas yang bakal lebih sering bertemu setelah ini, sebab berada dalam kapal yang sama, yang senasib sepelayaran.
Selain itu, ini juga jadi momen untuk melihat cara kerja kolektif yang datang dari berbagai kota. Boleh jadi, ini juga semacam ruang interupsi bagi praktik-praktik yang barangkali tak cocok dengan budaya kami, atau sosial-politik sekalipun. Atau hanya sekadar saling konfirmasi isu atau penguatan kolektif melalui diskusi-diskusi santai yang terjadi sepanjang workshop berjalan.[]
Fauzan Al Ayyuby, belajar dan bekerja di Tanahindie juga awak Kolektif Stereo.
[1] Ivan Illich, Celebration of Awareness, Pelican Books: London (1970), hal. 39 – 46.
[2] Seno Gumira Ajidarma, Tiada Ojek di Paris, PT Mizan Pustaka: Jakarta (2014), hal. 29.
2 Comments
Di workshop ini kita adalah laboratorium atas diri satu sama lain.
benar-benar merasakan pelayaran hingga akhir, keren kak!!