Saya berjumpa dengan personel Pangkep Book Party (PBP) pada pekan akhir Juli lalu, kesepakatan bertemu tersaji usai membangun percakapan melalui pesan WA mengenai ajakan terlibat dalam program yang bakal digelar awal Agustus di Makassar.
Semuanya berlangsung cepat saja akibat perubahan jadwal kegiatan yang seharusnya digelar pada September atau Oktober. Setelah terhubung melalui ruang daring Zoom pada Selasa, 19 Juli, jaringan kerja lima kota Makassar Biennale perlu segera menemukan calon peserta dari wilayah masing-masing untuk terlibat dalam program Bakkā, ruang inkubasi gagasan bagi seniman, penulis, peneliti, dan manajer seni berusia muda di wilayah dan kota di Indonesia Timur.[1]
Tak ingin kasip, metode yang dipakai segera mengaktifkan jaringan pertemanan untuk mendapatkan rekomendasi bakal peserta. Hal ini kembali mengingatkan setumpuk tantangan yang kerap menghinggapi: sumber daya yang bersedia mengalokasikan waktunya selama dua pekan lebih guna mengisi ruang-ruang percakapan.
Meyakinkan peserta terlibat dalam program dengan durasi sepanjang itu tentulah tidak mudah, beberapa teman yang saya kontak memberikan jawaban serupa: kegiatannya terlalu lama.
Mengapa lokakarya ini panjang? Di sepanjang uraian ini tidak akan ditemukan jawabannya. Tetapi akan dijumpai sejumlah pintu untuk mengintip beragam tampakan yang dapat menjadi panduan memahami, paling tidak memberikan penjelasan awal.
Samsurya MZ (Surya) dan Vera Febrianti, dua nama ini yang saya tahu dari PBP, belakang hari keduanya mengajak masing-masing satu teman: Muhammad Syawal Saputra (Syawal) dan Nurul Azmi. Sedangkan Muhammad Nur Rahmadhani (Rahman) direkomendasikan oleh Ardy dari Pelita Pangkep, komunitas yang fokus pada literasi anak di Pangkep.
Sebagai anak muda yang lahir pasca Reformasi, kelima anak muda ini rerata berusia di bawah 30 tahun. Menilik latar pendidikan semuanya memperoleh akses hingga menamatkan studi strata satu (S1) dan memiliki riwayat bergiat di organisasi. Sejumlah organisasi yang dituliskan dalam curriculum vitae (CV) mengarah pada satu fokus, yakni aktivasi pengkaderan selama di kampus, lalu bergiat di komunitas pasca menyelesaikan perkuliahan.
Kemelimpahan informasi yang diperoleh dari media sosial menjadi jalan terhubung ke sejumlah jaringan dengan peminatan serupa. Umpamanya saja, minat pada kecintaan buku. Jaringan komunitas Book Party yang belakangan tren di sejumlah kota mendorong aktivasi pararel ke sejumlah kota yang lain. Perayaan hasil pembacaan buku di lingkaran komunitas tersebut sesungguhnya menjadi modal dalam pengembangan pengamatan.
Hanya saja, jika kita melakukan evaluasi, aktivitas membaca seringkali berakhir sebagai onani menumpuk informasi yang mengantar pada sikap mensonge,[2] tanpa memiliki pendapat sendiri dari hasil bacaan.
Segera saja kebingungan menghampiri. Pengalaman mengikuti lokakarya yang sejauh ini monoton, kini diperhadapkan pada situasi yang sama sekali baru. Anwar Jimpe Rachman, Direktur Makassar Biennale (MB), malah menyebut jika lokakarya dimulai ketika peserta mulai berangkat meninggalkan kota asal masing-masing.
Setelah pengenalan program dan sesi perkenalan antar peserta, selanjutnya menjadi forum peserta untuk mulai memikirkan latar amatan yang bakal dibicarakan. Anda mau menampilkan apa atau sajian informasi yang bagaimana Anda bagikan.
Di sesi rehat, Jimpe, sapaan Direktur MB, kerap mengulang situasi lokakarya yang sudah lama hilang. Lokakarya yang menghubungkan lalu mendekatkan emosional peserta. Di tengah rehat tersaji beragam peristiwa, ada yang membangun kelompok kecil membicarakan gagasan, ada yang bermain gitar dan bernyanyi bersama, ada pula menepi dari keriuhan dengan menyulut rokok sembari minum kopi buatan sendiri karena penyelenggara tidak menyediakan minuman yang sudah jadi. Interaksi membuat kopi atau teh buatan sendiri menjadi bagian dari proses lokakarya.
Pada hari ketiga atau keempat, Surya, Syawal, Vera, dan Rahman perlu melakukan perjalanan balik untuk melengkapi data. Hal serupa juga dilakuan Nuaz, sapaan Nurul Azmi. Malah, ketika peserta lain sudah melakukan proses pengaryaan, Nuaz masih perlu bolak-balik ke TPA Antang melengkapi data penelitiannya.
Hal mustahil dilakukan oleh peserta dari kota lain seperti dari Nabire, Labuan, atau Lembata karena jarak. Dalam situasi seperti itu sangat bisa dirasakan bagaimana lingkaran kebingungan merasuki, dari mulai cara mencari data, menerima informasi, sampai pada menuliskannya.
Agar Rupa Tidak Sekadar Pameo
Pada Senin, 12 Agustus, peserta lokakarya Bakkā berkunjung ke Fakultas Seni dan Desain Universitas Negeri Makassar (FSD-UNM) di Kampus Parangtambung. Peserta berjumpa dengan Muhlis Lugis, perupa yang juga dosen di FSD-UNM. Perjumpaan berlangsung sekitar sejam lebih itu terbangun dialog cair, Muhlis juga telaten menyimak gagasan karya yang diungkapkan masing-masing peserta.
Muhlis menduga jika karya rupa peserta kebanyakan akan jatuh pada instalasi. Ia menyadari mengenai latar belakang peserta yang mayoritas bukan dari disiplin seni rupa. Sebagai pemula, gagasan karya ke dalam rupa tentu saja proses yang terus membingungkan di kepala. Namun, proses yang membuat bingung itulah yang menjadi pangkal jalan yang perlu dilalui hingga ujung.
Muhlis mengatakan karya instalasi bukan sekadar menampilkan benda-benda. Keterkaitan gagasan dan relevansi isu harus tampak dari susunan benda-benda yang ditampilkan.
Dugaan Muhlis mengenai rupa instalasi menjumpai kenyataan ketika peserta tiba pada pameran rancangan karya yang digelar tiga hari, mulai Selasa-Jumat, 20-23 Agustus 2024 di The Wall by Prolog Ecosystem, sebuah ruang kreatif di kawasan kota tua di Jalan Sumba, Makassar.
Memori pembelajaran akademis terasa jelas dirasakan peserta. Jika ada yang bisa lepas dari hantu itu, mungkin beberapa orang saja karena sudah terbiasa atau pernah mengalami proses berkarya. Tetapi, lima orang dari Pangkep jelas mengalami mimpi buruk selama hari-hari yang panjang.
Seliar-liarnya imajinasi tetaplah harus punya konsep dan dapat dipertanggungjawabkan dengan cara kerja nalar. Menggaungkan kebebasan berpikir dengan ungkapan: “ini cara saya” atau “ini karya abstrak” dan semacamnya tidaklah menunjukkan kedalaman berpikir. Malah, hal demikian menunjukkan sikap kalah dan bersembunyi di balik tembok kebebasan berpikir.
Hal inilah yang dialami Surya ketika berhadapan isu karst yang membentang di depannya. Ia tumbuh dan besar di lingkungan bentangan karst di kampungnya di Balocci. Akan tetapi, perubahan ekologis yang terjadi akibat eksploitasi tambang marmer yang meruntuhkan cara kerja ekosistem karst tampaknya luput dari amatan.
Surya kesulitan menemukan harta karun yang sebenarnya tidak perlu dicari dengan bersusah payah. Ketika ia menyampaikan gagasan karyanya menggunakan medium beatbox, ia selangkah hendak melakukan pembaharuan di kesenian bunyi berbasis pada rongga ucap manusia itu.
B-Art Karst, itu judul gagasannya yang disampaikan ke saya ketika masa lokakarya baru berlangsung dua hari. Bayangan menyajikan karya ke dalam bentuk penampilan (performance art) juga sudah tergambar. Sejauh ini jika menyebut beatbox, sajian yang kita dengar melulu eksplorasi bunyi yang bertumpu pada suara drum atau instrumen musik yang lain.
Selanjutnya ada tantangan ketika ingin menyusun kisah penghancuran ekosistem karst di kampungnya, utamanya sekali pada pendemonstrasian bunyi yang bertumpu pada suara mesin pemotong, derap kaki para penambang, atau deru suara mesin truk pengangkut bongkahan batu.
Persoalannya bisa dilacak pada minimnya referensi, Yuswantoro dan Moelyono (2003) dua perupa yang terus intens melakukan pembacaan baik tersirat atau tersurat. Baginya membaca itu perlu sebagai tindakan art is knowledge.[3]
Seperti yang dituliskan sebelumnya tindakan membaca hanya akan berakhir sebagai tumpukan informasi yang (mungkin tidak berguna) bila tidak mendorong pengembangan sudut pandang untuk berpikir mandiri.
“Aku sepertinya lupa jika diriku tumbuh bersama karst,” tulis Surya dalam takarir karyanya. Pengakuan tersebut menunjukkan hamparan halaman buku (tersirat) di sekelilingnya yang lupa dibaca atau malah diabaikan. Padahal, dari kepulangannya di tengah proses lokakarya untuk mencari data tambahan, sudah ia temukan petunjuk mengenai nama perusahaan tambang marmer yang pernah beroperasi di kampungnya dan juga tambahan informasi dari bekas karyawan di perusahaan itu.
Jalinan informasi yang didapat tak cukup kuat menjadi fondasi, Surya ingin mengubahnya ke dalam resonansi ingatan alam secara umum. Ia mengakui jika waktu proses pengaryaan tidak cukup ditambah perlunya kolaborasi yang ia butuhkan dalam mewujudkan rupa bunyi.
Pada akhirnya Surya melihat ruang lain yang dapat diisi agar tetap terhubung dengan isu karst.
“Untuk mendekatkan diriku kembali dengan keindahan karst, aku merekam suara-suara di dalam gua dan sekitar karst sebagai bentuk long-term memory agar terhubung kembali dengan suara alam seperti bunyi air mengalir, tetesan air di bebatuan, kicauan burung, bunyi bebatuan, dan bunyi daun kering.”
Sebuah headphone tergantung dengan kabel menjuntai yang terhubung dengan pemutar audio MP3, pengunjung perlu memasang alat itu di telinga untuk mendengarkan gabungan bunyi beatbox olahan Surya yang ia gabungkan dengan rekaman suara-suara yang didengarnya di gua.
Foto ukuran A3 menangkap satu sudut langit-langit gua, tiga foto lainnya berukuran 5R menjadi potongan informasi mengenai keberadaan gua di sebuah kawasan taman prasejarah Sumpangbita. Rupanya Surya membangun konsistensi mengenai fungsi karst bagi ekosistem kehidupan.
“…Air yang aku nikmati berasal dari jaringan hidrologis dalam tubuh karst.”
Di balik foto itu terbangun hubungan manusia dengan karst yang memperoleh air dari tubuh karst. Warga setempat mengalirkan air dari cerukan gua melalui pipa, praktik jamak yang dilakukan warga yang hidup di kawasan karst. Seperti itulah ingatan panjang Surya yang coba ia pantik kembali agar tersadar dari tidur panjang.
Berutang pada Ingatan Bocah
Barangkali saja kita semua pernah menjadi bocah dengan petualangan melingkari garis geografis kampung, sebuah perjalanan tanpa peta yang bisa berulang setiap hari. Motifnya memanglah bermain-main dengan kawan sejawat. Mungkin juga, sekali peristiwa tertangkap mata, indra paling sosial yang menanam benih ingatan di kepala yang timbul tenggelam seiring usia.
Dari sekali pengalaman menjadi bocah, kelak menjadi kompas yang mendapatkan titik pertautan dan perjumpaan ketika menginjak usia dewasa. Menatap sembilan foto berukuran 5R yang dipajang melingkari satu foto ukuran 10R menunjukkan putaran waktu ingatan bocah seorang Vera Febrianti.
Vera kembali melakukan penulusuran waktu ke sebuah kampung di desanya, Taraweang, Labakkang. Setelah dewasa ia mulai terdorong mengajukan tanya mengenai permukiman warga yang terpisah dari pusat desa, jumlah warga yang hidup di kampung itu hanya sekisar 70-an jiwa dengan rumah yang saling berjauhan.
Hal-hal yang dulu menjadi pranata sosial warga mulai mengalami perubahan. Sebuah sumur komunal, misalnya. Keberadaan sumur rupanya berkaitan erat dengan penambahan jumlah penduduk. Vera mendapati jika sumur di kampung itu tak hanya satu, saat ini warga mengupayakan sumber air terdekat dengan rumah dengan mengandalkan cerukan dalam tanah yang terbentuk alami dari tetesan air dari bukit. Itulah mengapa ada sumur yang hanya berkedalaman sekisar 70-an cm saja.
Walau demikian, Vera masih mendapati satu sumur komunal yang masih terus berfungsi, sumur itulah yang menjadi penanda ingatan kebocahannya tentang kampung tersebut. Foto sumur itu menunjukkan adanya pemasangan pipa, sebuah penanda jika warga tak perlu lagi datang ke sumur dan membangun interaksi komunal seperti dulu.
Tuturan warga yang dicatat Vera mengantar lebih jauh hal ikhwal keberadaan kampung yang namanya diambil dari sebuah tumbuhan berbunga. Warga mengidentifikasinya serupa sakura yang bermekaran di musim hujan. Tumbuhan bunga yang nama tempatannya itu disebut laoting, dalam kesaksian warga memekarkan bunga berwarna ungu dan merah jambu. Jadilah permukiman itu disebut Kampung Laotinge.
Mak Sitti, perempuan sepuh berusia sekisar 80 tahun yang menjadi salah satu narasumber Vera, mengisahkan satu peristiwa jika dulu, bila musim hujan tiba, gelegar suara petir bak hantu yang membuat warga bergidik, satu kejadian ada rumah warga yang terjilat petir. Namun, ada rumah warga yang di sekitarnya ditumbuhi laoting justru aman dari intaian sambaran petir.
“…Sejak itulah warga mulai meyakini keampuhan tumbuhan laoting sebagai penangkal petir. Jika musim hujan tiba, warga mengambil tangkai laoting yang berbunga lalu disimpan di atas daun pintu atau di sudut tertentu dalam rumah sebagai azimat penangkal petir.”
Juga beranjak dari pengalaman bocah, Syawal mulai mengidentifikasi tumpukan amatan yang terus tumbuh bersamanya. Ikatan hubungan melalui prosesi pengantin yang melewati ritual, bisa jadi satu-satunya yang ada di Pangkep, setidaknya sejauh catatan ini dituliskan saya belum pernah mendengar ada ritual mappere botting (mengayun pengantin) di Pangkep selain di Kampung Kanaungan, Desa Kanaungan, Kecamatan Labakkang.
Riwayatnya merentang jauh berdasarkan folk yang dituturkan turun temurun. Syahdan, pernah ada seorang anak yang terus menangis hingga muncul lelaki tua menyarankan agar ibu anak itu membuat ayunan. Begitu sang anak diayun, seketika juga berhenti menangis. Muasal itulah yang menjadi ikrar bagi si ibu untuk membuat ayunan yang lebih besar untuk anak dan cucunya hingga tujuh turunan.
“…Wija pere’ sendiri dapat dimaknai sebagai wangsa tau sama’ atau warga biasa. Karenanya kalangan kaum bangsawan di Kampung Kanaungan tidak diperbolehkan menggelar tradisi ini.”
Syawal menaruh detail pada narasi yang dikembangkan, ayunan berukuran besar yang dipakai pasangan pengantin menggunakan kayu kapuk yang dikombinasikan dengan bambu, rotan, dan kayu nangka.
“…Kayu kapuk, misalnya, yang dijadikan tiang ayunan cukup kuat menahan beban, dapat berdiri kokoh, mudah tumbuh sekaligus ketersediaannya banyak di Kampung Kanaungan. Pesannya ialah, ketika manusia berada di atas hendaklah berbagi antar sesama layaknya pohon kapuk yang memiliki ranting, daun, dan buahnya.”[4]
Penyajian karya Syawal dalam pameran rancangan karya mendapat masukan yang berarti dari tim produksi MB, Arfan Rahman dan Ardy merupakan dua sosok yang menjadi kawan diskusi Syawal ketika memasuki waktu pameran.
“Karya Syawal ini paling tinggi kedudukannya, karena harus digantung di langit-langit,” gurau Arfan.
Gambar pengantin yang sedang menjalani prosesi mappere’ mengisi tiga lembar kain berukuran 3 x1 m yang menjuntai ke bawah. Sebuah simbol estetik mengalihrupakan prosesi mappere’ botting dengan ukuran ayunan mencapai ketinggian 10 m.
Ingatan bocah juga tampak ketika menengok instalasi Rahman yang sepertinya memindahkan kios jualan para pedagang eceran jeruk di Marang. Peristiwa yang hampir saban hari ia saksikan, tentu saja ia tahu banyak situasinya, ia lahir dalam lingkungan keluarga pekebun jeruk.
Pengalaman bocah Rahman menopang rangkaian strukturisasi ingatannya.
“…Sejarah jeruk dalam hidup saya mengingatkan bahwa kebun jeruk menjadi tempat bermain waktu kecil bersama teman. Kerap kali kami bermain panjat-panjatan dan membangun rumah rumah di atas pohon jeruk. Setelah lapar dan haus biasanya langsung saja memetik jeruk yang matang. Kulit jeruk juga kami jadikan bahan mainan membuat perahu atau mobil-mobilan.[5]
Pengetahuan tempatan mengenai kemampuan warga membedakan varian jeruk pamelo, jeruk khas yang dibudidayakan pekebun di Pangkep, salah satu pusatnya berada di Desa Padang Lampe, Kecamatan Marang. Empat varian jeruk yakni jeruk putih, jeruk merah, jeruk golla–golla, dan jeruk bencong.
Keempat varian jeruk pamelo itu turut dipamerkan Rahman melengkapi kios jualan. Di sampingnya bertengger layar tivi menampilkan Rahman sedang mendemokan olahan jeruk pamelo berdurasi satu menit. Jeruk pamelo selain dijual satuan dan gelondongan. Dalam amatan Rahman, hal yang masih kurang mendapat perhatian ialah potensi daging jeruk yang dapat diolah menjadi manisan, rujak, atau menjadi selai.
Vera, Syawal, Rahman, juga Surya, dan kita semua yang pernah menjadi bocah tidak lagi meminjam ingatan-ingatan masa lalu, aktivasi yang terbangun memanglah sebuah bentuk utang ingatan yang dulu tertangkap lalu tersimpan di memori.
Bakkā sebagai Proses
Dari kelima rancangan karya peserta dari Pangkep, hanya Nuaz yang coba memberikan amatan yang tidak beranjak memori bocah. Ia menaruh minat pada dampak lingkungan yang diakibatkan polusi sampah di lingkungan perkotaan sejak kuliah di Teknik Lingkungan di Universitas Hasanuddin. Dalam dua tahun terakhr, Nuaz terlibat dalam program Dinas Lingkungan Hidup Kota Makassar terkait praktik berkelanjutan dan perlindungan lingkungan.
Ketika yang lain pada menggali ingatan bocahnya, Nuaz kukuh pada penggalian informasi mengenai tempat pembuangan akhir (TPA). Kebakaran TPA Antang di Makassar yang terjadi pada 2019 seketika menaikkan jumlah kasus Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA), data Puskesmas Antang mencatat angka 3.179 pasien di tahun itu dan merupakan angka tertinggi dalam empat tahun berjalan.
Kegelisahan Nuaz disandarkan pada pengelolaan sampah yang tidak mengindahkan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Padahal, TPA Antang sangat dekat dengan permukiman warga.
“…Wilayah operasional TPA Antang sangat dekat dengan permukiman, jarak terdekat dengan menggunakan penarikan garis lurus melalui aplikasi citra satelit ialah hanya berjarak 103 m sedangkan jarak sungai terdekat dengan lokasi TPA ini hanya berjarak kurang lebih 895 m. Perumahan terdekat dari TPA adalah perumahan Antang, perumahan TNI Angkatan Laut, perumahan Graha Borong Jambu, perumahan Griya Tamangapa, dan perumahan Taman Asri Indah.”[6]
Menelusuri data spesifik perihal dampak lingkungan dan kesehatan akibat polusi sampah menjadi pertaruhan Nuaz. Tentu tidak tidak mudah melakukannya dengan durasi waktu yang singkat, apalagi harus mengetuk pintu birokrasi untuk mendapatkan data.
Nuaz serasa mempertahankan sebuah disertasi di hadapan profesor. Ia kukuh dengan minat awalnya. “Mendalami ilmu lingkungan mengantarkan saya untuk melihat lebih dekat realitas pengelolaan lingkungan di Indonesia, terutama terkait penanganan persampahan,” tulis Nuaz memulai narasi penelitiannya.
Menjelang sehari pembukaan pameran, dilakukan rapat evaluasi progres pengaryaan, dari catatan evaluasi menunjukkan capaian presentasi laju karya yang sudah siap dipajang di galeri, dari 20 peserta hanya presentase Nuaz yang tampaknya tidak mengalami kemajuan.
Vera mengabarkan jika Nuaz masih perlu melengkapi data penelitiannya, ketika peserta yang lain mulai melakukan pengadaan properti penunjang karya, pada waktu yang sama Nuaz masih berjibaku mendapatkan penunjang karya untuk ia tampilkan dalam instalasinya.
Layaknya induk ayam mengerami telurnya, dalam proses inkubasi itu tidak semua telur menetas di waktu yang sama, ada telur yang membutuhkan durasi lebih lama. Akan tetapi, terkadang induk ayam sudah meninggalkan sarangnya dan mulai mengajak anaknya berkeliaran melihat cahaya. Telur yang terlambat menetas biasanya berakhir sebagai telur busuk.
Begitu pula program Bakkā, yang berarti baru tumbuh, proses inkubasi (pemanasan) yang dilakukan melalui lokakarya selama dua pekan (tentu pemakanan durasi waktu bisa sangat tentatif dan relatif). Namun, Bakkā sebagai ruang inkubasi, juga mengingatkan kita pada proses inkubator yang dilakukan pada bayi yang baru lahir.
Saya teringat ketika anak pertama saya lahir, ia harus disimpan ke dalam sebuah kotak kaca dan kita, orang tuanya, hanya boleh menatapnya dari kaca pintu. Para perawat punya jadwal padat melakukan pendampingan kepada setiap bayi dalam ruang inkubator itu.
Ketika mendengar anak saya menangis, saya meminta kepada suster untuk menggendongnya, namun hal itu tidak dibolehkan. Kata suster, biarkan bayi menangis karena itu baik untuknya. Sebuah pernyataan yang saat itu sulit saya pahami.
“Kita, orang Bugis ini selalu perlu ada to manurung,” ujar Jimpe suatu ketika. Konteks pernyataannya itu ia ujarkan setelah komik Tamasya Purbakala karya Gandhi Eka telah selesai cetak. Komik itu merupakan buah residensi yang dijalani Ghandi di Kampung Belae dalam gelaran Makassar Biennale tahun 2023 lalu. Dari komik itu kemudian kita tahu bagaimana menyikapi tinggalan gambar cadas di gua-gua kawasan kasrt Pangkep-Maros.
Dari situ saya kembali memahami konsep to manurung tidaklah abstrak. Konsep ini menunjukkan perlunya ruang interaksi dan membangun kolaborasi. Hal yang sejak awal sudah menjadi nafas program Bakkā. 20 peserta berasal dari tujuh wilayah di Indonesia Timur[7] yang baru bertemu tampak menunjukkan proses lebih dalam membangun percakapan kolaboratif mengenai gagasan karya.
Sajian isu dalam Hidangan Beracun dari Gunung Sampah yang ditawarkan Nuaz bisa dibaca sebagai karya kolaboratif hasil pertemuan dan pertukaran gagasan. Andre Geovani, yang menjadi to manurung dengan muralnya mampu menerjemahkan kegelisahan Nuaz. Hal yang sama juga berlaku pada peran tim produksi seperti Ade Cakra Irawan untuk proses rekaman karya Surya, Almubdy Siraj Ramadhan yang menopang video demo Rahman. Sebab begitulah sebuah proses dalam pendampingan bagi hal-hal yang baru tumbuh sehingga tidak ada telur busuk dalam program Bakkā.
F Daus AR, berkhidmat di Rumah Saraung
[1] Makassar Biennale, Term of Reference Bakkā, 2024.
[2] Mensonge merupakan judul novel dari Malcolm Bradbury (1932-2000). Ia mengenalkan tokoh Henri Mensonge, seorang akademisi yang gemar mengutip pendapat dan teori menurut seleranya untuk tujuannya sendiri.
[3] Rain Rasidi, “Menengok Rak Buku Perupa” dalam majalah Mata Baca. Vol. 1/No. 10/Juni 2003.
[4] Muhammad Syawal Saputra, “Mappere’ Bottiing”, 2024. Belum dipublikasikan.
[5] Muhammad Nur Rahmadhani, “Khasanah Jeruk Pamelo”, 2024. Belum dipublikasikan.
[6] Nurul Azmi, “Hidangan Beracun dari Gunung Sampah”, 2004. Belum dipublikasikan.
[7] Baca lebih lanjut: https://artefact.id/2024/08/19/bakka-pamerkan-dua-puluh-karya/