“Romantis dan puitis,” kata Ahmad Anzul, menyimpulkan kesan yang didapat begitu mendekati karyanya yang dipamerkan pada Makassar Biennale 2017.
Melihat ikan kering yang tergantung pada karyanya, ingatan saya lalu jatuh pada peristiwa gempa di Nabire, Papua, pada 26 November tahun 2004. Gempa berkekuatan 7,2 Skala Richter (menurut lembaga observasi gempa di Hong Kong dan Australia; menurut pihak Indonesia gempa tersebut berkekuatan 6,4 Skala Richter)[1], merubuhkan sebuah gerai baru dan satu-satunya yang dibangun bertingkat dua di kota itu. Saya masih ingat betul, ibu saya berlari sejauh 3 kilometer dari tempat keluarga saya yang sedang melangsungkan acara pernikahan. Kami semua kelaparan. Lalu ikan kering dan sayur kelor menjadi penyelamat kami beberapa jam kemudian karena tidak ada alat untuk memasak. Semua alat saling menindih di dapur rumah kami.
Karya Instalasi Anzul, berupa kain hitam sebagai alas, kemudian di atasnya ditaburi garam membentuk spiral yang di tengah spiral itu tergambar seorang perempuan yang sedang hamil, seperti proses kelahiran atau perjalanan. Karya ini diangkat dari perjalanannya, yang awalnya lahir di daerah pesisir. Sewaktu umur 3-4 tahun, ia sudah bermain di pantai. Jadi ia tahu banyak hal tentang laut: perahu hilir-mudik, bau-bauan, apa-apa saja yang hanyut, dan lainnya. Selain itu, seperti yang sudah dijelaskan di atas, ia menceritakan perjalanannya menuju Kampung Garam, yang ditandai oleh peristiwa-peristiwa ganjil di dalam perjalanannya. Kemudian kertas yang diletakkan di bagian bawah dinding yang horizontal, sebenarnya adalah cermin, penanda flashback. Kemudian ornamen-ornamen perahu yang digantungkan sesuai dengan usianya: 50 tahun, selain itu perahu menandakan pengalaman-pengalamannya sewaktu kecil selalu membuat perahu-perahu kecil ketika hujan, bertemu sungai, dan lainnya.
Ketika dihubungi oleh Nur Abdiansyah, Ahmad Anzul agak ragu. Pasalnya, pengalaman masa lalu di Biennale pertama yang diadakan, ia memilih boikot. Semacam ada “keraguan”, tapi ketika diajak ketemu dan mengobrol oleh Nur abdiansyah di rumahnya, ia kemudian tertarik ikut MB 2017 karena sudah melupakan yang lalu. Tema tentang maritim juga membuat ia menjadi tertarik karena Makassar Biennale memilih posisi itu sebagai acuan gagasannya. Menurutnya, biennale di luar itu menjadi terpotong-potong karena setiap siapa yang menjadi direktur artistiknya, selalu mengganti tema. Ia mengikuti pameran seni rupa ini karena gagasan yang berkelanjutan dalam mengeksplor tema maritim sebagai tema besar.
“Makassar sudah ketahuan dari zaman dulu, bicaranya tentang maritim. Kalau di Kalimantan, yah, bicara hutan.” Ingatan-ingatan tentang maritim membuat ia ingin berpartisipasi di Makassar Biennale ini. Dalam waktu bersamaan ia mengikuti dua biennale. Dua minggu sebelum hari H panitia berkunjung ke rumahnya. Ia sendiri telah dua kali berkunjug ke sekretariat MB untuk berdiskusi soal pameran ini. Walau dengan waktu yang mepet: perfomance art di Jakarta pada tanggal 4, kemudian pulang tanggal 5, lalu di Makassar pada tanggal 6 siang. Tapi itu bukan masalah karena proses artistiknya sudah jadi jauh-jauh sebelumnya. Menurutnya, berkarya itu tidak harus kalau hanya ada event saja.
Ide yang ia tawarkan adalah perjalanannya menuju ke Kampung Garam. Judul karyanya adalah Kampung Garam #107, ID Makassar (Perjalanan). Anzul bercerita tentang perjalanannya menemukan kampung garam. Ketika ia beristri, hampir tiap kali ketika makan telur dadar, garamnya berkumpul, dan selalu ia yang dapat walaupun sudah dijelaskan prosesnya. Ditambah lagi ketika pulang dari Selayar setelah membantu kawannya mengerjakan artistik, tiba-tiba ia berhenti di Jeneponto pukul dua siang. Daerah yang terkenal dengan garam dan cuacanya yang panas itu disinggahi walaupun tidak ada alasan untuk singgah. Ia bercerita ketika turun dari mobil, ada perasaan bahwa tempat itu tidak menjadi panas, gersang, dan gerah. Ia justru merasa seperti ada kupu-kupu yang membawa es batu dan membuatnya merasa sejuk.
“Lalu saya berdoa, jika memang ini jalan saya, saya pilih di sini,” terangnya.
Dalam proses pameran, ia berharap karyanya tidak menjadi tafsir tunggal. Yang menjadi menarik baginya adalah ketika hadirnya tafsir-tafsir lain yang melengkapi karyanya dalam banyak perspektif. Walaupun karyanya yang dipamerkan di Makassar Biennale menghilangkan beberapa objek, tetapi menurutnya tidak akan mengurangi gagasan yang akan disampaikannya.
Dalam prosesnya sehingga menjadi seniman, ia merasa dijebak oleh Halim HD. Ketika itu pada tahun 1999, ia diharuskan membuat karya pada pagelaran Makassar Art Forum sebagai penyeimbang untuk karya-karya seniman yang sudah memiliki nama besar. Karya yang waktu itu ia pamerkan berjudul ‘marah’. Sebuah patung jam yang terhambur, kemudian di bawahnya diletakkan daun-daun. Karyanya ini adalah kritik untuk terjunnya ia pada Makassar Art Forum yang ia rasa belum waktunya untuk itu.
Pria kelahiran 11 September 1967 ini adalah anggota departemen seni rupa di Dewan Kesenian Makassar. Ketika mengingat kembali rangkaian peristiwa sehingga ia menemukan kampung garam dan konsisten mengeksplorasi itu, ia teringat kalau ternyata ia menikah pada hari bahari nasional. Dalam karya instalasinya, ikan kering yang ditaruh di karyanya dikarenakan makanan pertama yang dimakan anaknya yang ketika itu berumur 5 bulan adalah ikan kering.
Ia mengakui bahwa hal-hal yang paling mudah dibuat menjadi karya adalah hal-hal yang dirasakan dan dialami sendiri oleh senimannya: bukan teks kepala. Bulan Desember tahun lalu, ia menggarap sebuah buku berisi 100 karya yang menurutnya seperti buku puisi tapi bukan: teks, gambar, hubungan gambar dan teks, dan tidak ada hubungannya sekalipun.
“Seharusnya kita harus bangga karena Makassar menjadi satu-satunya Biennale di Indonesia Timur khususnya. Kita tidak boleh berkecil hati.” Hadirnya Makassar Biennale menjadi menarik karena menurutnya ini milik kita dalam segala hal: proses momentum, kerja kreatif, dan lainnya, sehingga kita tidak menjadi asing dan terpengaruh dengan yang lainnya.
Kalau punya kekuatan dan solidaritas tinggi, ini akan menjadi menarik, menurutnya. Di tahun ini mungkin temanya masih lebar, tapi ke depannya mungkin akan lebih detail dan spesifik. Misalnya makanan-makanan laut, teknik tali-temali nelayan, dan lainnya. Ini yang menjadi menarik. Dengan tema yang lebar, kemungkinan eksplorasi juga lebar, jadi karya bisa beragam, bisa macam-macam. Kalau nanti sudah dipakaikan sub tema, akan menjadi sangat menjadi menarik karena akan sangat kaya.
“Ini ‘kan senimannya masih sedikit, mungkin sebaiknya 30 seniman. Mungkin agak lambat untuk ukuran Biennale yang masih muda. Seharusnya ini diramaikan dan diperkenalkan terlebih dahulu oleh banyak seniman di Makassar, selanjutnya baru banyak yang dari luar.”
Secara teknis ia tidak terlalu mempermasalahkan Makassar Biennale ini. Pertumbuhan kesenian pasti terjadi karena momen, dan sejarah yang tidak bisa dihapus-hapus, menurutnya. Ia berharap ini akan berlanjut hingga nanti. Kemudian pelebaran tempat menjadi hal yang sangat mungkin dikembangkan. Paotere atau Losari menjadi alternatif yang baginya kontekstual dengan maritim. Menurutnya, selain seni rupa, tentunya ada juga pameran lain, meskipun Biennale adalah pameran seni rupa. Baginya seni rupa dan dimensi lainnya saling terhubung satu sama lain. Tentunya ketika ada pelebaran-pelebaran, ini akan menyerap banyak seniman.
“Makassar Biennale, bagaimanapun event-event seperti ini juga bukan cuma menyerap secara teknis pembiayaan, dia harus menumbuhkan ekonomi-ekonomi yang ada di sekitarnya. Artinya bagaimana kita membuat event ini menjadi menarik. Tentu ini bukan dikaitkan dengan panitia yang bekerja, selain waktu yang mepet, ini tentunya berkaitan dengan edukasi,” kata Anzul.
Ia juga berbagi tips dalam konsisten dalam membuat karya: catatan. Menurutnya catatan sangat efisien dalam merekam ide. Jika bepergian ke mana, melihat apa, berdiskusi apa, lantas dicatat agar tidak hilang dan akan kembali jika dibaca. Kamar mandi menurutnya adalah salah satu ruang yang paling banyak melahirkan ide-ide.
Fauzan Al Ayyuby, belajar dan bekerja di Tanahindie.
[1] Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Gempa_bumi_Nabire_2004, diakses pada 15 November 2017, pukul 11.11 Wita.