Beberapa bangkai kapal kayu terlihat di tepi pantai Pelabuhan Cappa Ujung, Parepare, sekitar 150-an kilometer dari Kota Makassar. Di buritan kapal yang masih tersisa, anak-anak kecil kerap beradu gaya lompat di atas bangkai kapal itu. Beragam gaya dipraktikkan. Dari gaya terbang ala Supermen, sampai gaya tak karuan: ketika dada langsung menghantam permukaan laut. Saya pernah merasakan perihnya dada ketika melompat ke laut dengan gaya macam itu. Apalagi dengan jarak dari buritan kapal dan permukaan laut sekitar dua setengah meter, seperti anak-anak kecil itu.
Kapal-kapal karam itu jadi tempat bermain anak-anak di pelabuhan Cappa Ujung. Tak jarang, mereka sudah berenang dan melompat di situ meski matahari sedang terik-teriknya. Pelabuhan Cappa Ujung memiliki luas sekitar 155 meter dan lebar 15 meter. Ada dua dermaga di pelabuhan itu. Di sebelah kanan, dari arah jalan raya, dermaga tempat kapal barang berlabuh. Sebelah kiri ditujukan untuk kapal penumpang. Tepat di tengah-tengah dua dermaga itu, bangkai-bangkai kapal kayu itu karam.
Saya menemani Isrol Triono a.k.a Media Legal untuk mencari tembok sebagai media karya stensil yang akan ia jadikan karya di Makassar Biennale 2019 Kota Parepare. Kami menyusuri Pelabuhan Cappa Ujung setelah sebelumnya, dua tempat incarannya urung mendapat izin dari pemiliknya. Pertama, di sebuah ruko yang telah beralih fungsi jadi sarang burung walet, terletak di Jalan Guru M Amin. Kedua, tembok gerai gawai di Jalan Daeng Parani.
Dari pintu utama Pelabuhan Cappa Ujung, kami belok ke kanan, Jalan Pelabuhan, menghantam debu yang membubung dari jalanan berbatu. Tepat di depan kapal-kapal karam itu, berdiri tembok setinggi dua meter dengan lebar sembilan meter: dua tembok kiri dan kanan berukuran masing-masing tiga meter, dan sebuah pintu pagar besi tiga meter. Lantaran tak ada rumah di areal dalam tembok, Isrol berinisiatif menanyakan pemilik tempat pada sebuah rumah yang berdiri tepat di sebelah kanan tembok itu. Dari obrolan singkat Isrol dan seorang perempuan paruh baya di rumah itu, kami diarahkan menuju rumah deretan pertama di dalam areal Pelabuhan Cappa Ujung jika masuk dari pintu utama.
Dari informasi seorang lelaki paruh baya yang kami temui di rumah itu, pemiliknya sedang keluar rumah. Kami diminta untuk datang lagi. Sore harinya, Isrol bertemu pemilik tembok yang akan jadi media karyanya. Lelaki itu tak ada masalah dengan tujuan Isrol, tapi Isrol mesti bertemu dengan anaknya untuk mendapat jawaban pasti. Malam hari, kami kembali bertemu dengan Sukri, anak si pemilik tembok. Tak butuh waktu lama, setelah Isrol menjelaskan tujuannya serta memperlihatkan gambar-gambar yang akan ia gambar pada tembok itu, Sukri langsung setuju.
Isrol adalah seniman dari Yogyakarta yang diundang untuk berpameran di Makassar Biennale 2019. Ia tiba di Parepare tanggal 28 Oktober 2019 dari Yogyakarta. Tiga hari sebelum pembukaan Makassar Biennale 2019 Parepare. Setelah seminggu melakukan observasi, ia tertarik pada burung walet yang banyak ia lihat pada beberapa bangunan di Parepare. Ketertarikan Isrol dipicu perlakuan khusus pada burung walet yang menurutnya istimewa jika dibandingkan dengan Jawa. Dari amatannya, keistimewaan itu terlihat dari keseriusan seseorang membangun sarang burung walet. Perlakuan khusus ini lantaran bisnis sarang burung walet cukup menjanjikan. Dengan modal lima ratus juta dengan perincian biaya pembelian tanah seratus juta dan biaya pembangunan rumah empat ratus juta, keuntungan yang didapat bisa mencapai satu koma dua miliar dengan rincian: dalam satu tahun empat kali panen, masing-masing 10-30 kilogram. Harga jual per kilogram mencapai tiga puluh juta. Dalam satu kali panen, untuk sepuluh kilogram saja bisa mendapat omzet tiga ratus juta. Hitungan empat kali panen bisa mencapai satu koma dua miliar. Bila dikurangi dengan harga modal lima ratus juta, keuntungan yang didapat kisaran tujuh ratus juta.[1]
Melihat fenomena rumah sarang burung walet, Isrol menggelandang burung walet ke dalam karyanya. Dalam proses membuat karya, Isrol berdiskusi dengan Alfian Diro Damis, koordinator Makassar Biennale Parepare, untuk melibatkan seniman Parepare. Arief dan Anto kemudian menjadi kolaborator mural Isrol.
Anto adalah seorang seniman karikatur dengan nick name Kudesign. Dalam proses kolaborasi bersama Arief dan Isrol, Anto mengatakan bahwa ia memosisikan diri sebagai pendukung konsep karya yang telah dipaparkan Isrol, terkait migrasi dan burung walet. Sentuhannya pada karya kolaborasi mural itu terlihat pada teks “Lao sappa deceng Lesu mappadeceng (pergi mencari kebaikan pulang menebar kebajikan)” beraksara lontara’, dan beberapa burung walet dengan pose terbang menukik. Anto menggambarkan pose burung walet itu sebagai seseorang yang pergi mencari info, atau seseorang yang pergi mencari kebaikan seperti representasi dari teks lontara’ “Lao sappa deceng Lesu mappadeceng”.
Hal serupa juga dikembangkan oleh Arief, seorang talent mural dengan nick name Loadkiss. Merespons tema migrasi dan burung walet, ia turut menaruh teks “Lao sappa deceng Lesu mappadeceng” dan gambar seekor burung yang hendak terbang sebagai representasi tema migrasi. Di belakang burung walet itu, terlentang ribbon berlatar putih tempat teks “Lao sappa deceng Lesu mappadeceng” bernaung.
Kolaborasi mural dari tiga seniman itu menghasilkan rangkaian cerita tentang migrasi. Isrol menggambar burung walet dengan membawa tas dan bendera, juga simbol peace di dada. Burung-burung itu berdiri di atas kabel listrik yang melintang. Arief menggambar burung walet yang hendak terbang sebagai proses migrasi. Sementara Anto menegaskan cerita itu dengan pose burung walet yang terbang menukik penanda sampainya sang burung di tempat yang baru. Sebagai penanda dimulainya perjalanan, teks “Lao sappa deceng Lesu mappadeceng” yang juga jadi tema Makassar Biennale 2019 Parepare ini menguatkan seluruh rangkaian cerita.
Burung walet dalam hal ini hanyalah gambaran dari manusia. Simbol-simbol yang ada di burung walet itu pun divisualkan sebagai bentuk-bentuk penegasan. Misalnya bendera yang disimbolkan sebagai latar belakang manusia dari fragmen budaya, agama, dan lainnya. Kemudian logo peace melambangkan pesan perdamaian antar-manusia, utamanya ketika hendak bermigrasi dan berinteraksi dengan kelompok lain. Ide dasar ini kemudian ikut dikembangkan oleh Arief dan Anto.
Jika dirunut ulang, proses berkarya Isrol sudah terjadi sejak datang di Parepare. Serangkaian negosiasi dilakukan demi melahirkan dialog antara seniman dan warga. Proses panjang itu membikin konsep karyanya di Makassar Biennale 2019 Parepare semakin matang. Misalnya, ketika bertemu di showroom mobil dengan penjaga ruko bekas toko sembako yang terletak di Jalan Guru M Amin, dialog tentang sarang burung walet terjadi. Ruko bekas toko sembako itu lebih tertarik mengalih-fungsikan bangunannya jadi rumah sarang burung walet alih-alih melanjutkan usahanya. Ini juga terjadi ketika sedang memvisualisasikan karyanya pada salah satu tembok di Pelabuhan Cappa Ujung. Ketika sedang menggambar, kami sering disuguhi minuman dingin dari rumah yang terletak tepat di sebelah tembok itu dari seorang lelaki paruh baya yang tak jarang melihat karya Isrol dan bertanya perihal karyanya. Tak terkecuali anak-anak kecil yang bermain di bangkal kapal kayu tepat di depan tembok itu. Mereka berkerumun menonton kolaborasi mural itu. Bahkan salah satu anak laki-laki diajak oleh Anto untuk ikut menggambar aksara lontara’ pada tembok itu.
Anto mengatakan bahwa Makassar Biennale 2019 Parepare, juga kolaborasinya bersama Isrol dan Arief membikin ia mempelajari hal-hal baru. Misalnya, negosiasi ruang, cara melibatkan warga, observasi dan riset karya, juga bentuk penyajian karya yang tidak melulu mesti diiming-imingi uang. Hal yang paling ia garis bawahi dari proses berkarya adalah interaksi. Arief tidak terlalu banyak bicara lantaran ia baru mengenal Makassar Biennale sejak Agustus 2019. Sementara Isrol, melihat keterhubungan seniman, warga, budayawan, dan lain-lain dalam Makassar Biennale sebagai hal yang menarik.
Orang-orang bergegas masuk ke dalam rumah. Isrol, Arief, dan Anto merapikan alat-alat mereka. Tak lupa mengembalikan botol bekas air minum pada rumah di sebelah tembok itu, sekaligus bersalaman dan berpamitan. Anak-anak kecil sudah pulang ke rumah. Menyisakan lumut di dinding bangkai perahu yang masih sedikit basah. Kami bergegas pulang ke Rumah Putih, ruang pameran Makassar Biennale 2019 Parepare. Sambil jalan dan mendengar kicauan burung walet, saya membatin, “Hanya dari enam meter tembok, sepuluh orang belajar proses kreatif karya seni. Bagaimana jika sepuluh meter, dua puluh meter, tiga puluh meter, dan seterusnya?”[]
Fauzan Al Ayyuby, belajar dan bekerja di Tanahindie.
[1] Dzulfikar, https://lifepal.co.id/blog/sarang-burung-walet/, diakses pada 27 Maret 2020, pukul 16.47 WIT.
One Comment