Setelah menancapkan jangkarnya di empat kota di Sulawesi selatan, yakni Makassar, Pangkep, Parepare, dan Bulukumba, lalu ke satu kota di Nusa Tenggara Timur, yakni Labuan Bajo. Setelahnya, Makassar Biennale (MB) Maritim: Sekapur Sirih 2021 bergeser ke pulau paling timur di Indonesia, yaitu Papua, lebih tepatnya di Nabire, sebuah kabupaten yang terletak di pesisir Teluk Cenderawasih. Untuk pertama kalinya, pagelaran seni dua tahunan ini, diadakan di Nabire.
Di Nabire, kegiatan MB dilaksanakan selama enam hari yaitu dari tanggal 25 hingga 31 Oktober 2021 di ruang aula kantor Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Kabupaten Nabire. Pembukaan kegiatan pameran seni, yang diadakan pada Senin, 25 Oktober 2021, pukul 19:00 – 21:00 WIT, dimeriahkan oleh beberapa grup musik Hip-hop lokal seperti Pace Black Family, R!kex, pertunjukan musik akustik, dan dance show.
Antusiasme masyarakat yang ingin menyaksikan kegiatan pembukaan MB cukup tinggi hingga tumpah ruah di halaman depan kantor DPU. Masyarakat yang hadir lintas kalangan. Ada yang dari komunitas sosial, komunitas literasi, komunitas kopi, hingga pelajar-mahasiswa juga kalangan umum. Mereka datang ke tempat kegiatan, baik secara rombongan maupun perorangan. Dengan tetap mematuhi protokol kesehatan.
Fauzan Al Ayyuby, koordinator tim kerja MB 2021 di Nabire mengawali acara pembukaan dengan menjelaskan sekilas tentang Makassar Biennale, tema dan semangat apa yang diusung MB 2021, di kota mana saja MB 2021 sudah “berlabuh”, dan berapa lama serta apa saja rangkaian kegiatan dalam MB 2021 di Nabire, yang akan digelar selama sepekan.
Fauzan, lebih sering disapa Ochank, kemudian mempersilakan beberapa seniman yang berpameran untuk memperkenalkan diri.
Para seniman ini adalah Komunitas Asosiasi Pedagang Asli Papua (APAP), yang menampilkan seni instalasi dengan judul “Nagii!”. Nagii adalah istilah dalam bahasa suku Mee, yang berarti “silakan pukul saya”. “Nagii!” kerap diucapkan ketika subjek punya upaya mempertahankan diri dalam keadaan tertekan. APAP, yang selama ini aktif mendampingi dan memperjuangkan nasib mama-mama Pasar di Nabire, Papua, ingin menceritakan keadaan mama-mama penganyam noken dewasa ini, yang diperhadapkan dengan arus kapitalisme.
Mikael Kudiai, juru bicara APAP, ketika menyampaikan sambutan mengatakan, meskipun noken telah dianggap sebagai produk kebudayaan yang sejak 04 Desember 2012 diakui dan ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan dunia, namun nyatanya di tingkatan bawah, noken juga sedang mengalami gempuran hebat oleh produk-produk kapitalisme seperti tas-tas berbahan plastik yang tidak ramah lingkungan. Melalui karya seni instalasi, mereka ingin menceritakan tentang bagaimana kantong plastik yang diproduksi secara massal, cepat, dan mudah itu secara perlahan tapi pasti menggeser fungsi noken. Mereka ingin bercerita, bagaimana kebudayaan sedang berbenturan langsung dengan kapitalisme di bumi Papua.
Selanjutnya, ada Yulianus Boma (Yuli), dari komunitas Papuansphoto yang melalui fotografi, menceritakan Mama Mince, seorang penjual nota (Ubi), daun bawang, markisa, pepaya, wortel, dan lain-lain yang dibawa datang dari kabupaten tetangga, Dogiyai. Yuli menampilkan beberapa foto yang secara berurutan memperlihatkan Mama Mince sedang menggelar dagangannya di trotoar jalan depan pasar Karang, Nabire, dan dibeli oleh dua orang berbeda.
Perkenalan selanjutnya dari Kolektif Stereo, sebuah gerakan kolektif lintas multimedia berupa tulisan, fotografi, video, dan lainnya yang berbasis di Nabire. Kolektif Stereo merupakan bagian dari Komunitas Nabire Membaca (KONAME) yang fokusnya di media dan pendokumentasian. Nomensen Douw, mewakili Stereo Kolektif menjelaskan karya yang mereka tampilkan berupa hasil penelitian sekaligus penulisan bersama dua kawannya, Fauzan Al Ayyuby dan Manfred Kudiai tentang daun bahan pengobatan tradisional di Nabire.
Nomen dan dua kawannya terlibat dalam program “Menghambur Menyigi Sekapur Sirih”, sebuah program yang diadakan sebagai rangkaian pra-event MB 2021. Program yang berlangsung selama tiga bulan itu menelurkan buku “Ramuan di Segitiga Wallacea”. Dalam buku inilah ketiganya menyumbang tulisan, yaitu Nomensen Douw, menuliskan soal daun gatal yang dipakai oleh masyarakat pesisir hingga pegunungan Papua, Fauzan Al Ayyuby, menuliskan soal daun waru, sebuah daun yang dalam suku Yerisiam dikenal dengan istilah “Nabarure” yang berarti “daun yang mendatangkan darah, dan Manfred Kudiai, yang menuliskan soal daun Akadapi Boo (urang-aring) sebagai penyembuh batuk yang diwariskan turun-temurun. Jenis karya mereka adalah seni instalasi, dengan media yang variatif.
Ada satu seniman lagi yang menampilkan karya lukis yaitu Wahyu Effendi. Dua lukisan tersebut, pertama berjudul “Bingung”, yang berangkat dari pengalaman pribadi, semacam menyatakan imajinasi dalam “bentuk-bentuk dan warna-warna. Lukisan kedua, berjudul “Jalan Keluar”, yaitu bentuk respons terhadap penelitian daun waru yang dilakukan oleh Fauzan Al Ayyuby dalam buku “Ramuan di Segitiga Wallacea”. Sebuah lukisan yang mencoba memvisualkan perjalanan darah kotor dari dalam tubuh hingga menembus pori-pori lalu keluar lewat daun.
Dalam kegiatan pembukaan, Effendi tidak sempat hadir karena sedang ada kesibukan lain yang tidak bisa ditunda. Meski begitu, karyanya tetap dipajang. Secara keseluruhan, terdapat 4 karya seni yang ditampilkan dalam kegiatan MB 2021 di Nabire. Setiap karya yang ditampilkan, ada deskripsinya. Tentu saja selain itu, selama 6 hari, ada Lokakarya, Wicara Seniman, Diskusi, Pertunjukan Musik, dan Pemutaran film. Panitia juga memberikan ruang pada komunitas literasi di Nabire seperti Komunitas Nabire Membaca (KONAME) dan Gerakan Papua Mengajar (GPM) untuk menjual dan menggelar lapak buku. Juga, memberikan ruang kepada beberapa Coffee Shop di Nabire seperti “Minta Tamba” dan “Enauto Coffee” untuk menjual sekaligus mempromosikan komoditasnya.
Selanjutnya, usai sesi perkenalan seniman, dilanjutkan dengan pertunjukan musik dan dance show. Kegiatan pameran seni Makassar Biennale (MB) Maritim: Sekapur Sirih 2021 resmi dibuka oleh Fauzan Al Ayyuby, sebagai koordinator tim kerja MB 2021 di Nabire pada pukul 20.15 WIT. Setelah itu masuk pada sesi opening galeri. Sebelum memasuki ruangan pameran, tamu undangan dan para mengunjung terlebih dahulu mengisi daftar hadir di meja registrasi, kemudian melihat-lihat hasil karya seni yang ada di dalam. Kegiatan selesai pukul 21:45 WIT.[]
Herman Degei, tim kerja Makassar Biennale – Nabire