Jurnal Residensi Emba Na: Dari ‘Penjara’ ke Penjara

Remaja dan kelabilan merupakan dua hal yang cukup akrab dalam pembicaraan orang-orang dewasa. Kedua hal ini dijaras oleh jurus-jurus media yang lantas memberitakan kenakalan-kenakalan remaja dewasa ini, mulai narkoba, tawuran, hingga pembegalan. Kecenderungan remaja ini dilatari oleh fase hidup mereka yang sedang dalam proses mencari identitas diri dan menyalurkan hasrat mereka, sebab di usia ini, mereka punya kecenderungan ingin diperhatikan. Alih-alih memberi perhatian lebih, banyak orang tua justru ‘memenjarakan’ para remaja itu pada kepatuhan tanpa memberi alasan-alasan yang masuk akal, atau mengarahkan hasrat mereka ke arah yang lebih baik.

Akumulasi hasrat mereka yang tidak diperhatikan sejak dari rumah, menemukan ruangnya di lingkungan luarnya. Di sekolah, misalnya, mereka menumpahkan hasrat mencari perhatian dengan cara melawan aturan seperti berkelahi, bolos, mabuk-mabukan, dan lainnya. Masih dengan pola yang sama, sekolah menghukum mereka seperti banyak orang tua menghukum anaknya di rumah, bahkan tak jarang sampai hukuman fisik diterima oleh para remaja ini. Tak berhenti di sekolah, mereka menyalurkan hasrat mereka sampai ke jalanan. Dalam catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), mereka menangani 1.885 kasus pada semester pertama 2018. Dari angka itu, anak berhadapan dengan hukum (ABH) seperti jadi pelaku narkoba, mencuri, hingga asusila menjadi kasus yang paling banyak.[1]

Salah satu hal yang bisa dilakukan untuk mengurai kenakalan remaja adalah kesenian. Ekspresi para remaja itu bisa dituangkan lewat artistik atau gagasan untuk proses penciptaan karya. Bukan saja hanya berguna untuk menghimpun hasrat mereka, kesenian memberi mereka kesempatan untuk mendapatkan apresiasi publik.

Kesenian sebagai jalan keluar dari pemicu persoalan kenakalan remaja dibuka oleh Makassar Biennale 2019 di Bulukumba dengan program Jurnal Residensi bertajuk “Emba Na” yang diprakarsai oleh Anitha Silvia (Surabaya) dan Fan Chon Hoo (Penang, Malaysia) bersama anak-anak sekolah di Bulukumba. Jurnal ini merupakan ajakan bergerak oleh generasi muda Bulukumba yang menampilkan percakapan mengenai Pemilihan Kepala Daerah 2020, pertandingan sepak bola, kisah perjalanan dari rumah ke sekolah, bangunan rumah dan kedai di kawasan pecinan, perjalanan kedua seniman residensi (Anitha Silvia dan Fan Chon Hoo), hingga cara menikmati kepala ikan.

Fadiatul Ramadani, siswi UPT SMAN 1 Bulukumba kelahiran Bulukumba 22 November 2001, membuat karya berupa percakapan dan perjalanannya naik pete’-pete’ (angkutan umum) dari rumah menuju sekolah bersama Anitha Silvia dan Anjar S Masiga, tim kerja Makassar Biennale 2019 di Bulukumba. Fadiatul menceritakan detail perjalanannya dari bunyi alarm pukul 03.30 Wita hingga tiba di rumah dengan jamuan makan siang berupa ikan dan sayur nangka. Dibantu sketsa pete’-pete’  yang dibuat oleh Akhmad Siddiq Fathanah Dharsyaf, seorang seniman yang berkecimpung bersama Teater Kampong Bulukumba.

Dalam karya Fadiatul, ia mencoba mengajak kita mengimajinasikan bagaimana perjalanannya bersama Anitha Silvia naik pete’-pete’. Lengkap dengan detail seperti pete’-pete’ berkode 99 yang mengantar mereka menempuh perjalanan, jumlah sekolah yang mereka lewati, berdesak-desakan dengan ibu-ibu yang ada di dalam pete’-pete’ dengan barang belanjaan mereka, serta tulisan “Putra Geger” di depan pete’-pete’ yang mereka tumpangi.

Ada cerita lucu di balik karya Fadiatul. Anjar, seorang jurnalis, ikut merasakan keistimewaan anak sekolah dengan potongan harga, dua ribu rupiah, untuk jasa pete’-pete’. Bahkan ia nekat menggunakan seragam sekolah untuk keistimewaan ini. Tapi ada sedikit insiden ketika Fadiatul sampai ke sekolah dan terlambat. Anjar juga ikut ditahan. Dengan negosiasi dan penjelasan oleh Anjar dan Fadiatul yang berusaha meyakinkan bahwa Anjar hanya menemaninya ke sekolah, akhirnya Anjar dibebaskan. Sebuah kenekatan yang akhirnya berujung pada kesalahpahaman.

Cerita Fadiatul membawa ingatan saya kembali ke masa ketika pertama kali datang ke Makassar pada tahun 2012 untuk berkuliah. Ketika itu saya harus naik taksi selama sebulan pertama karena takut naik pete’-pete’. Ragam ketakutan seperti tata cara memberhentikan pete’pete’, hingga apa yang harus diucapkan ketika ingin berhenti. Ketakutan yang datang bahkan sebelum saya mencobanya. Tetapi setelah diajak oleh salah satu teman kuliah sebulan kemudian, saya akhirnya mencobanya dan paham tata caranya. Pengetahuan ini berimplikasi pada pengiritan biaya sehari-hari selama hidup di Makassar.

Muhammad “Gatot” Harisah, salah seorang tim kerja Makassar Biennale 2019 di Bulukumba, merespons karya Fadiatul dengan pernyataan bahwa pete’-pete’ lamat-lamat akan tergerus akibat semakin mudahnya orang mengakses kendaraan pribadi. Hal ini menjadi mungkin mengingat perkembangan teknologi juga mengaminkan apa yang dikatakan oleh Gatot. Untuk kendaraan umum seperti pete’-pete’, bukan tidak mungkin akan tergeser dengan jasa angkutan umum lainnya seperti Gojek dan Grab.

Lain lagi dengan Zarina Annisa Padauleng, atau akrab disapa Ninis. Siswi kelahiran 9 November 2001 yang juga satu sekolah dengan Fadiatul, menceritakan perjalanannya bersama kawannya di daerah Pecinan, Jalan H A Mappanyukki, Bulukumba. Awalnya ia mengaku tidak tahu sama sekali soal Pecinan. Ia juga sempat menanyakan hal ini pada teman-temannya, tetapi tak seorang pun dari mereka yang tahu soal tempat ini.

Dari pandangan Ninis, ada yang luput dilihat oleh orang-orang ketika melewati Pecinan yang berakibat pada ketidaktahuan banyak warga soal keberadaan Pecinan di Bulukumba. Misalnya, ornamen-ornamen toko khas Cina yang biasa diletakkan di dinding toko, juga bekas-bekas sensus penduduk yang dilakukan pemerintah masa itu. Kebanyakan toko di Pecinan itu saat ini sudah tutup. Hal ini agaknya yang menyebabkan Pecinan tidak dikenali.

Ninis sempat mengajak ayahnya untuk mengelilingi Pecinan. Ketika mereka mengeliling Pecinan itu, ingatan ayahnya kembali jatuh ke masa lampau. Ayahnya bercerita tentang toko pakaian, toko elektronik, dan toko-toko lainnya yang paling terkenal di Bulukumba di masa lalu. Dari cerita ayahnya, Ninis berkesimpulan bahwa migrasi orang-orang Cina pada masa lampau banyak berpengaruh pada perdagangan di Bulukumba.

Sketsa Ninis berjudul “Engkae ri Toko Toa” dalam Jurnal Residensi Emba Na (Foto: tim dokumentasi MB 2019).

Dari hasil residensinya di daerah Pecinan, Ninis membuat sketsa berjudul “Engkae ri Toko Toa”. Dalam sketsanya, Ninis menggambar lampion, Maneki Neko—patung kucing yang dipercaya membawa keberuntungan, yin dan yang, singa, papan nama toko “Sumber Rezeki” lengkap dengan alamat, kertas sensus penduduk, dan lainnya.

Seperti Ninis, Muhammad Iksan yang akrab disapa Iccang, juga melakukan residensi di wilayah Pecinan. Siswa SMKN 1 Bulukumba kelahiran 22 Oktober 2002, menggambar ruko-ruko yang ada di Pecinan. Juga seperti Ninis, Iccang sama sekali tidak tahu sama sekali soal letak dan keberadaan Pecinan di Bulukumba. Ada beberapa tempat di Pecinan yang digambar oleh Iccang, salah satunya Sekolah Cina. Letak sekolah ini berada di bagian paling belakang Pecinan.

Selain Sekolah Cina, Iccang juga mengamati ruko-ruko yang ada di daerah Pecinan, yang menurutnya punya model tulisan dan warna yang sama. Ia mencurigai bahwa tulisan-tulisan di ruko-ruko yang ada di Pecinan dikerjakan oleh orang yang sama. Dari waktu ke waktu, ruko-ruko yang sudah tidak berfungsi itu beralih jadi sarang walet.

Iccang juga menggambar Warkop 45 yang sering ditempati oleh para orang tua. Warkop itu menurut Iccang jarang ditempati oleh pelajar karena sudah berdiri sejak lama dan jadi tempat para orang tua melepas lelah, berbincang, dan bertemu dengan sebaya mereka. Warkop ini kemudian jadi semacam basecamp orang-orang tua yang lebih sering menghabiskan waktu dengan bermain catur atau domino. Ditambah lagi, tidak tersedianya wifi menyebabkan warkop ini kurang diminati oleh kalangan muda.

Pecinan tempat Ninis dan Iccang melakukan residensi dan diproses menjadi karya seni menjadi cara tersendiri bagi dan untuk kaum muda mengenal lebih jauh kotanya. Pelajaran sejarah lewat kesenian agaknya lebih menyenangkan karena turun langsung melihat fisiknya, atau jika sudah diproses menjadi visual, akan menjadi sketsa-sketsa yang detail dan lengkap dengan deskripsinya, ketimbang duduk di dalam kelas dan diperdengarkan sesuatu yang tidak kita tahu bentuknya.

Haenul Hafifi, atau yang akrab disapa Pipi, menggambar sketsa Perahu Pinisi yang berangkat dari cerita kakeknya yang diberi nama Ambo Telle’ (ambo’ dalam bahasa Indonesia berarti laki-laki) dan (telle’ dalam bahasa Indonesia berarti perceraian). Pipi menggambar Pinisi yang dengan nama itu dilatarbelakangi sebelum kakeknya lahir, ibu dari kakeknya telah diceraikan oleh suaminya yang hendak pergi berlayar. Ibu dari kakeknya meminta bercerai sebab suami dari ibu kakeknya adalah lelaki yang nakal, bahkan sempat di penjara di Tarungku Toae, tempat Makassar Biennale 2019 Bulukumba dilangsungkan. Sketsa yang dibuat Pipi adalah simbol yang merepresentasikan perjalanan kakek dan nenek buyutnya. Sebuah usaha menuangkan imajinasinya tentang pendahulunya dalam bentuk artistik.

Selain Fadiatul, Ninis, Iccang, dan Pipi, dua anak sekolah lainnya, Ahmad Fatir Fahrianzah dan Nurleli Hidayanti turut mengisi jurnal dengan tulisan-tulisan mereka. Fatir, misalnya, sama seperti Fadiatul, menceritakan perjalanannya menuju sekolah dengan judul “Masikola”. Ia menceritakan detail dari bangun pagi dan sarapan. Berbeda dengan Fadiatul yang ke sekolah naik pete’-pete’, Fatir menempuh perjalanan ke sekolah dengan menggunakan sepeda motor. Konsekuensinya, ia kadang harus berurusan dengan kemacetan.

Sedangkan Nurleli, menulis sebuah pidato kebudayaan tentang Suku Kajang yang menjadi salah satu ikon kota Bulukumba, Festival Pinisi yang sudah berlangsung selama sepuluh tahun, dan suara knalpot motor modifikasi yang menurutnya sangat mengganggu. Dalam pidato kebudayaannya, Nurleli menggugat warga Bulukumba yang “gesit” ketika berlangsung suatu kegiatan, tetapi tidak tahu maksud dan tujuannya. Misalnya, Festival Pinisi, Nurleli berspekulasi dengan pertanyaan, “Kenapa dikatakan Pinisi?” yang menurutnya hanya mampu dijawab oleh 20 persen orang saja.

Apa yang Nurleli tulis dalan pidato kebudayaannya merupakan pengamatannya sebagai remaja terhadap kotanya sendiri. Selain itu, Fadiatul dan Fatir juga menggambarkan dua cara anak sekolah di Bulukmba menempuh perjalanan menuju sekolah, dan apa saja yang mereka rasakan selama berada di sepeda motor dan di pete’-pete’. Ninis dan Iccang mencoba mengajak warga Bulukumba untuk mengenal kembali Pecinan lewat sketsa dan detail-detail yang mereka hadirkan dalam karya, juga mengajak para anak muda lain untuk membangun kotanya dengan pengetahuan-pengetahuan lampau yang barangkali tidak diketahui oleh banyak orang kemudian membingkainya lewat kesenian. Sedangkan, Pipi menuangkan imajinasinya dalam karya Pinisi untuk merekonstruksi sejarah keluarganya lewat karya visual. Satu contoh yang agaknya bisa dicoba oleh anak-anak muda lainnya di Bulukumba ketimbang melakukan hal-hal yang berdampak buruk bagi dirinya sendiri.

Kesenian pada akhirnya menjadi pintu untuk keinginan-keinginan remaja tampil di publik. Seni yang menyenangkan. Kesenian yang lepas dari praktiknya di sekolah, yang hanya dipandang sebagai ‘suplemen’ untuk anak didiknya. Ditambah dengan ketidakseriusan sekolah terhadap kesenian yang seringkali terjadi, hanya menempatkan guru yang tidak sedang dalam jam pelajaran yang diampuhnya, untuk mengajarkan kesenian.

Anitha Silvia berharap, setelah Makassar Biennale, anak-anak muda ini tetap melanjutkan proses berkeseniannya, dan digarap lebih serius dan semenyenangkan mungkin untuk dijalani. Sebab, menjadi bahagia tetaplah paling penting.

Tulisan ini terbit pertama kali di Makassarbiennale.org

Fauzan Al Ayyuby, belajar dan bekerja di Tanahindie.

[1]Arief Ikhsanuddin, https://news.detik.com/berita/d-4128703/ada-504-kasus-anak-jadi-pelaku-pidana-kpai-soroti-pengawasan-ortu, diakses pada 25 September 2019, pukul 15.27 WITA.

Bagikan:
Pin Share

Tinggalkan Balasan