Pameran karya berjudul “OurHouse” yang diinisiasi oleh Budi Haryawan, perupa Makassar bersama beberapa seniman lain di Makassar mengusung konsep galeri rumahan sebagai ruang alternatif seni rupa di Makassar. Ide dari konsep “OurHouse” berawal dari diskusi antarseniman yang terlibat di pameran “Empat Memandang Rupa” Seri 3 (pameran seni rupa sepuluh tahunan di Makassar), tahun 2019 berlangsung selama sepekan, 25 – 31 Desember 2019 di FindArt Space Makassar.
Konsep OurHouse atau “pameran rumahan” ini adalah gagasan lama yang kemudian digalakkan oleh beberapa seniman di Makassar dengan tujuan mengenalkan ruang seni alternatif sekaligus mengaktifkan studio atau galeri seniman-seniman di Makassar menjadi art house.
Selain untuk menghidupkan studio seniman-seniman di Makassar, OurHouse juga hadir sebagai bentuk respons seniman terkait isu alih fungsi Gedung Kesenian Sulawesi Selatan Societeit de Harmonie menjadi sebuah kantor. Bagi Budi Haryawan, ‘gedung kesenian’ seni rupa (perupa) Makassar tidak hanya terbatas di Gedung Kesenian Societeit de Harmonie, tetapi satu kota Makassar. “Kalau memang pemerintah tidak peduli, tidak ada urusan! Kita bisa di mana saja, apalagi kalau kita punya rumah sendiri. Makanya judul pamerannya OurHouse, Rumah Kami – Rumah Kita.”
Sebagai permulaan, pameran yang berlangsung serentak selama delapan hari, 23 – 30 Januari 2020 di tiga tempat ini menghadirkan tiga seniman yang bersepakat berpameran OurHouse, di antaranya [1] Ahmad Fauzi di Ruang Seni FindArt, Antang, Makassar; [2] Ahmad Anzul di Little Heaven Art House di Daya, Biringkanaya, Makassar; [3] dan Budi Haryawan di Budi Haryawan Art House, Tamangapa, Makassar.
Dari konsep OurHouse, batasan-batasan dalam berkarya dan berpameran yang biasanya hanya dinilai di tempat-tempat eksklusif, seperti gedung kesenian, galeri, dan ruang-ruang seni yang dikenal oleh banyak kalangan seolah ingin ‘ditembus’. OurHouse ingin mengenalkan bahwa ruang berkesenian bisa di mana saja; di halaman, teras rumah, garasi, ruang tamu, bahkan di dapur. Konsep pameran rumahan pun memberi ruang leluasa pada tamu atau pengunjung dalam menikmati karya seni secara intim dan lebih terbuka.
Pameran rumahan sebagai ruang seni alternatif sekaligus sebagai ajang silaturahmi seiring sejalan dengan konsep ‘halaman’ dalam buku Halaman Rumah/Yard (Tanahindie Press: 2017), yakni halaman menjadi ruang bebas nilai yang memungkinkan berlangsungnya kebebasan berekspresi dan berinteraksi sosial—yang dengan demikian membuka lebar pula peluang kita dalam mencipta (kerja) atau menggagas (wacana), plus tidak memerlukan biaya besar. Halaman menjelma tempat bermain, bersenang-senang, sekaligus berkegiatan ilmiah.[1]
Ketika berkunjung ke studio Budi Haryawan empat hari sebelum berakhirnya pameran OurHouse, saya mengamati isi studionya seakan mengonfirmasi konsep yang ia bawakan sebelumnya di pameran MAIM (Makassar Art Initiative Movement) “Art of Process” 2019 lalu di Galeri Seni Rupa “Colliq Pakue”, Fakultas Seni Desain Universitas Negeri Makassar.[2] Perabot studio rumahannya yang ditampilkan di MAIM, seperti meja sudut minimalis, media lukis, toples kaca berisi kue Se’ro-se’ro (istilah bahasa Makassar untuk kue kering putih), kaleng biskuit Hong Guan, hingga poster keterangan konsep karyanya tentang “Rumah (home)” disusun di sudut-sudut ruang studionya.
Studio rumahan Budi berukuran sekira 2,5 x 4 meter persegi berada di sisi kanan garasi mobilnya—memuat kurang lebih 19 ragam karya lukisan. Dari ke-19 karya itu hanya sekitar 7 karya Budi di dalamnya, selebihnya adalah karya-karya yang sengaja dititip pajang oleh seniman-seniman yang berkunjung ke studionya. Model karya titip pajang ini merupakan bagian dari konsep OurHouse.
Dengan model berpameran ala OurHouse, jika dilihat dari segi keterlibatan maka tidak hanya tiga seniman yang berpameran, melainkan ada kurang lebih sebelas seniman yang ikut terlibat dengan konsep titip pajang karya. Titip pajang karya ini pula menandakan bahwa si seniman pernah bertandang ke studio rumahan Budi. Sebagaimana bagian dari tema pameran ini: Rumah Kami—Rumah Kita dan Pintu Terbuka.
Di dalam studio seniman kelahiran Makassar 16 Februari 1970 ini, ada satu dinding khusus berukuran 2,5 x 4 meter disediakan untuk area pajang karya untuk seniman yang membawa lukisannya sendiri atau seniman yang tidak sempat bertandang ke studio Budi namun karyanya juga ingin ikut dipajang.
Sebelas ragam karya lukisan itu, terdiri dari karya Ahmad Anzul (Kampung Garam #44 “My Way”), Asman Djasmin (Tiga Penari Tradisional Bermimpi), A. Mappatunru (Pemandangan Alam), Achmad Fauzi (Tiga Pendekar di Taman Prasejarah), Eddy Suprapto (Freddy Mercury), Faizal UA (Potrait of Me), Faisal Syarif (Glory of Love), Hamim (Lembah Damai), Jalaluddin Rumi (What Contemporary Calligrahpy Was About), Muhammad Suyudi (Kami Punya Seluruh Dunia di Halaman Belakang), dan Muhammad Tamzil (Penantang Badai).
Sekilas tentang Konsep dan Potret Diri Rusdi Trunajaya
Konsep berkarya Budi tidak pernah terlepas dari konsep Rumah (home), lantaran kecintaannya dengan rumah dalam pengertian luas. Tak heran jika sebagian besar karya-karyanya selalu menggambarkan rumah. Kecuali karya pesanan orang lain yang biasa dikerjakan Budi adalah lukisan potret seseorang. Ada empat lukisan rumah yang ia pamerkan di OurHouse dengan mengambil setting di beberapa tempat. Seperti di gambar pertama di Tanaberu-Bira (Bulukumba), gambar kedua Lolai-Batutomonga (Toraja), dan gambar ketiga Bambapuang (Enrekang), sementara gambar keempat adalah lukisan potret rumah pertamanya saat Budi masih kuliah semester sepuluh tahun 1994 di Jurusan Seni Rupa di IKIP Ujungpandang.
Budi mengaku cara belajarnya dalam melukis cenderung mencontoh sebuah gambar lalu dilukis. Seperti beberapa lukisan potret rumah dan pemandangan, ia foto dulu lalu dilukis. Begitu juga dengan lukisan bunga dalam vas logam berjudul “After Willem van Aelst”, belajar tekniknya dari karya pelukis tahun 1663, Willem van Aelst, seorang seniman Zaman Keemasan Belanda. Budi pernah berpesan ke mahasiswa seni, khususnya yang tertarik melukis dan menyukai karya-karya seperti Leonardo da Vinci.
“Kalau mau belajar melukis bikin saja gambarnya mengikuti aslinya dulu. Jika sudah dapat ilmunya (tekniknya) Leonardo da Vinci 10 persen saja itu sudah kelewatan,” seloroh Budi kala itu.
Di luar aktivitasnya sebagai pelukis, Budi Haryawan juga sering bermain musik di studionya. Ada tiga speaker mini dan satu gitar listrik yang biasa ia sambungkan saat hendak bermain musik. “Selain mencoret-coret, yah bikin ribut-ribut (main musik) lagi,” katanya sambil tertawa. Tak sedikit dari karyanya terinspirasi dari musik. Selain itu, Budi juga mengaku tidak pernah dibatasi oleh gaya atau aliran-aliran seni tertentu dalam berkarya.
Salah satu karya di dalam studio Budi Haryawan yang menarik perhatian saya waktu itu adalah lukisan potret diri almarhum Rusdi Trunajaya T yang dilukis sendiri oleh Rusdi Trunajaya pada 1987 di Jalan Gunung Salahutu, Ujungpandang. Lukisan dengan kualitas fotografis yang begitu detail, menyerupai orang aslinya. Apalagi jika diamati dari dekat, rambut dan bulu kumisnya serupa bulu asli seolah ditempel.
Rusdi Trunajaya lahir pada tanggal 12 Desember 1966 dan meninggal saat usianya berjalan 45 tahun, 10 April 2011. Budi menceritakan, almarhum Rusdi Trunajaya tidak pernah kuliah, hanya mengikuti pendidikan seni di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) di Yogyakarta, itupun hanya sampai kelas dua. Teknik Rusdi Trunajaya dalam melukis yang begitu detail membuat Budi Haryawan dan beberapa seniman lain banyak belajar darinya. Bagi Budi, kalau karya realis, lukisan Rusdi Trunajaya dinilai belum ada tandingannya, setidaknya di Sulawesi, Surabaya, hingga Bali.
Lukisan potret diri Rusdi Trunajaya yang berambut panjang dengan menggunakan latar hitam kecokelatan itu menambah kesan dramatis sosoknya dalam lukisan. Setidaknya lukisan itu menjadi satu lukisan pembeda dari ragam lukisan yang ada di dalam studio, lantaran kekuatan warnanya yang hangat dan menarik perhatian.
Sambil mengobrol dengan Budi Haryawan malam itu dan sesekali melirik lukisan potret diri almarhum Rusdi Trunajaya, saya bersama teman-teman pengunjung lainnya disuguhkan kopi dan teh menjadikan obrolan seputar OurHouse semakin hangat. Di balik kehangatan itu, satu hal menarik lainnya pada pameran ini yang membedakannya dengan pameran-pameran yang pernah saya datangi sebelumnya—yang biasanya sebelum masuk ruang pameran kita mesti mengisi buku registrasi. Di OurHouse, tak ada buku regitrasi, bentuk registrasinya hanya dilihat dari gelas kopi atau teh, dan setelah pamerannya ditutup, si seniman akan memposting di Facebook foto tamu pengunjungnya dan jumlah gelas minuman.
Rafsanjani, belajar dan bekerja di Tanahindie.
[1] Anwar Jimpe Rachman, et.al, Halaman Rumah/Yard, Cetakan pertama, Tanahindie Press: Oktober 2017, hl. 8.
[2] Rafsanjani, https://artefact.id/2019/02/27/kopi-buatan-istri-tumpah-ke-kanvas-budi/, 03 Februari 2020, pukul 20.18 Wita.
One Comment