Seorang lelaki bercelana dengan balutan kain putih dan kaus abu-abu mengatur langkah melewati kerumunan orang yang duduk di atas bekas spanduk. Ia menghadap ke barat dengan membawa seekor ikan cakalang selebar telapak tangan orang dewasa. Sebuah stand mic telah tegap berdiri di atas jalan raya yang dipakai jadi panggung. Ia meletakkan ikan lalu meninggikan stand mic setara mulut lelaki seratus tujuh puluh lima sentimeter itu. Ia lalu mengambil sattung, alat musik petik tradisional Mandar yang terbuat dari bambu, untuk mengawali deklamasi puisi yang ditulis Husni Djamaluddin berjudul “Akulah Laut”:
Bila bumi hanya sepi dan langit tak terbuka lagi
Bagi segala mimpi, akulah laut yang surut
Bila bumi berguncang dan langit menangis
Dalam badai hujan, akulah laut yang pasang
Laut surut, laut pasang,
Akulah laut yang menampung air mata
Dari duka sungai dan sepi bumi
Laut surut, laut pasang,
Akulah laut yang menadah air mata
Dari duka awan, dari tangis laut
Laut surut, laut pasang
Akulah laut yang tak tahu lagi
Bagaimana mesti menangis
Karena aku sudah air mata itu sendiri.
Puisi “Akulah Laut” yang dibaca lelaki itu dibalut tiupan suling yang menambah kesan melankolia dalam larik-larik puisi itu. Sebuah puisi yang memasukkan realitas laut yang dicecar oleh duka, sepi, dan tangis, yang oleh lelaki itu disimpul dalam satu fenomena: sampah. Terlihat dari serakan sampah yang melingkung ikan cakalang di depannya.
Sesaat setelah puisi selesai dibaca, lelaki itu melenggangkan tangan dan kakinya. Tariannya bertempo lambat. Sesekali ia membentuk gerakan mencondongkan badan ke kiri dan kanan dengan meluruskan kaki yang tidak jadi titik tumpu badan; persis pemanasan pemain sepak bola. Sesekali juga ia berjongkok sambil melangkah ke depan dan belakang di antara serakan sampah dan seekor cakalang di hadapannya.
Di antara performance itu, ada satu adegan yang membikin mata penonton membelalak. Lelaki itu mengambil ikan cakalang lalu merobek insangnya. Cahaya keremangan lampu sorot mengarah ke tubuh lelaki itu. Darah cakalang menetes ke atas jalan raya. Dengan mata tertutup, lelaki itu lalu mengangkat ikan itu ke atas wajahnya. Tetesan pertama jatuh ke alis kirinya, lalu ia mengolesnya lagi ke pipi, mulut, lalu mengarahkannya pelan ke leher. Setelah itu, ia mengoleskannya ke seluruh tubuh. Tak lama setelah itu, performance berakhir dengan riuh tepuk tangan.
Lelaki itu bernama Dalif Palipui, salah satu seniman yang memamerkan karyanya di Makassar Biennale 2019 Polewali Mandar. Melihat performance Dalif, Nirwan Ahmad Arsuka, salah seorang kurator Makassar Biennale 2019, mengatakan bahwa adegan ketika Dalif menyobek insang ikan dan melumurinya ke badan begitu dramatis. Sehingga adegan itu tidak lagi perlu penjelasan kata-kata sebab sudah lebih kuat dari eksplanasi verbal.
Hubungan kata-kata dan citra visual memang kadang tak bisa dilepaskan. Tetapi performance Dalif yang oleh Nirwan disebut tak perlu penjelasan kata, seperti apa yang dikatakan oleh Lyotard: “Citra tak bisa ditundukkan oleh kata sebab keberadaan citra adalah pertama-tama berarti kesunyian kata-kata. Citra berbicara dalam diam, dalam wahana steril dari kata-kata. Karena itu seni rupa tak mungkin terjelaskan penuh oleh bahasa, bahkan oleh penjelasan strukturalis sekalipun.”[1]
Mesti dipahami, performance Dalif tak lepas dari karya instalasinya berjudul “Menuju Laut” yang dipamerkan di Uwake Culture Foundation, Lingkungan Tinggas Tinggas, Kelurahan Tinambung, Polewali Mandar, 26-30 Oktober 2019. Judul karya itu diambil dari fenomena sampah dari hulu yang berakhir di laut sebagai hilir. Pencemaran itu, menurut Dalif, pun berdampak pada satu teknologi tradisional orang Mandar bernama epe’-epe’. Epe’-epe’ adalah sebutan untuk tempat bertelurnya ikan tuing-tuing (ikan terbang, Hirundichthys oxycephalus) yang banyak ditemui di Mandar. Bentuknya macam-macam. Bisa dibuat bundar, segitiga, kotak, dan lain-lain.
Pada karya instalasi Dalif, epe’-epe’ dibentuk menyerupai orang-orangan yang berbahan daun pisang, daun jagung, dan daun kelapa. Bentuk yang oleh Dalif diasosiasikan dengan kreativitas nelayan lantaran bentuknya yang beragam. Selain itu, daun pisang, jagung, dan kelapa disimbolkan dengan hubungan darat dan laut, juga sebagai bentuk dari hubungan hulu dan hilir sebagai jalur sirkuit sampah dari darat menuju laut.
Aliran sampah menuju laut membikin epe’-epe’ terancam tak jadi tempat bertelur ikan tuing-tuing yang nyaman. Kalaupun ada, telur ikan itu akan bercampur dengan sampah, yang tak tentu saja berpotensi menurunkan kualitas telur tuing-tuing. Hal ini direpresentasikan oleh Dalif dengan tidak menghadirkan telur tuing-tuing pada karyanya. Ia berharap, lewat karya seni yang menceritakan keadaan ekosistem laut saat ini, khususnya di Mandar, bisa sampai pada warga yang datang.
Performance yang diawali puisi di malam pembukaan Makassar Biennale 2019 Mandar itu, menjadi premis untuk membuka ruang dialog tentang ekosistem laut, karena ketika puisi dibacakan, “seorang penyair seakan-akan menegaskan kata Karl Jasper: ‘Bukan saja dalam kenyataannya saya bukan untuk diri saya sendiri, tetapi bahkan saya tidak dapat menjadi diri saya sendiri tanpa muncul dari kehadiran saya bersama orang lain’.”[2] Lewat puisi Husni Djamaluddin “Akulah Laut”, Dalif menggelandang kegelisahannya tentang duka, sepi, dan tangis laut. Sebuah puisi yang tidak menjejalkan segala-galanya juga tidak dalam kegelapan supaya tidak dimengerti. Puisi itu “mengindahkan para pembaca untuk ‘menciptakan kembali sesuatu bagi diri mereka sendiri’.”[3]
Pesan dari performance Dalif hendak berhanyut-hanyut dalam alam pikir dan perasaan penonton. Menurut Dalif, ikan cakalang yang ia robek insangnya mewakili ikan-ikan di laut yang sedang sakit lantaran memburuknya ekosistem karena sampah. Tak luput soal abrasi pantai, pencemaran lingkungan, dan lain-lain yang ikut memperparah kondisi itu. Performance itu akhirnya disebut oleh Dalif sebagai kemudi untuk mengarahkan pikiran warga menuju kembali ke laut.
Dalif melihat tumpukan sampah di laut sebagai egosentrisme manusia. Bukan hanya sebab ego hingga sampah itu dibuang sembarangan, juga ego saat tumpukan sampah itu butuh dibersihkan bersama. Pada tanggal 21 September 2019, World Clean Up Day (WCD), program aksi sosial global yang bertujuan memerangi masalah limbah padat global, termasuk puing-puing laut, dilakukan di Desa Pambusuang, Balanipa, Polewali Mandar. Kegiatan ini melibatkan banyak relawan dari berbagai organisasi dan lapisan masyarakat. Diantaranya tim WCD Polman, Badan Lingkungan Hidup Polman, KKN UNM, Generasi Muda Pambusuang, komunitas Iqra’ Generasi Lamasariang, SMP Pambusuang, SMK Balanipa, dan SMAN 1 Tinambung. Dalam kegiatan ini, Badan Lingkungan Hidup bersama Volunter tim WCD Polman berhasil mengangkut kurang lebih 3 ton sampah. Meski telah mengangkut sampah sebanyak itu, Azhari Leader WCD Polman mengatakan bahwa sampah hanya berkurang, tidak habis. Tetapi mereka setidaknya mengurangi timbunan sampah di pesisir pantai itu.[4]
Timbunan sampah di pesisir laut Mandar memang memprihatinkan. Misalnya di Dusun Tallo, Desa Bala, Balanipa, Polewali Mandar, Sulawesi Barat (Sulbar), tumpukan sampah yang didominasi kain bekas tidak hanya menghampar di permukaan pantai sepanjang lebih-kurang 100 meter. Sampah-sampah tersebut juga menutupi sejumlah batu karang.[5] Fenomena ini sebenarnya menggelisahkan banyak orang. Tetapi tidak ada keinginan bersama untuk menyelesaikan persoalan sampah itu. Beberapa kali memang sempat ada solusi-solusi, tapi tak pernah menyelesaikan sepenuhnya masalah ini. Persoalan ekosistem laut yang tercemar itu ia gelandang ke dalam bentuk performance agar bisa menembus egosentrisme itu. Sehingga, seperti kata Dalif, persoalan ini mesti direnungkan tiap individu.
Tiap individu yang menonton performance melahirkan pengalaman estetis. Pengalaman yang “pada dasarnya merupakan ‘modus pemahaman diri’. Dengan memirsai karya, kita memirsai diri kita sendiri. Semakin merasuk ke dalam sebuah karya, semakin kita meresapi relung-relung terdalam dari diri sendiri. Karenanya, pengalaman estetis pada akhirnya adalah pengalaman tentang kebenaran eksistensial—kebenaran tentang karya yang terjangkar pada pengalaman konkrit kehidupan pemirsa yang menyejarah.”[6] Sehingga pengalaman estetis itu akan menjadi berproses dengan dirinya sendiri untuk membentuk yang dimaksud Dalif sebagai ‘kesadaran menuju laut’.
Dalif sejak tahun 2000-an telah berkecimpung dalam dunia pertunjukan. Di tahun 2000, dia bergelut di Bengkel Sastra Universitas Negeri Makassar (UNM), kemudian tahun 2001 ia masuk di Teater Kampus UNM, juga sempat bergabung di Teater Kita Makassar. Pada tahun 2008, lelaki berumur tiga puluh enam tahun ini kembali ke Mandar dan terjun ke dalam dunia seni budaya di sana. Bekal pengalaman di dunia pertunjukan itu ia jadikan bentuk penyajian dari hasil-hasil riset seni dan budaya, salah satunya “Menuju Laut”.
Karya “Menuju Laut” pada akhirnya menjadi magnet yang menarik mata banyak orang kembali menuju laut. Sebuah karya yang diramu dari kegelisahan ekosistem laut yang tak terawat. Seni dan sastra menjadi penghubung kegelisahan itu. Sebuah kelindan citra dan kata dalam pasang surut laut.[]
Fauzan Al Ayyuby, belajar dan bekerja di Tanahindie.
[1] Martin Suryajaya, Sejarah Estetika, (Jakarta Barat: Penerbit Gang Kabel, 2016), hal 764.
[2]Goenawan Muhamad, Seni, Politik, Pembebasan, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2018), hal 93.
[3]Ibid.
[4]Harclinda, https://sandeq.net/2019/09/21/aksi-world-clean-up-day-polewali-mandar-berhasil-angkut-3-ton-sampah-di-pambusuang/, diakses pada 5 April 2020, pukul 13.25 WIT.
[5]AbdyFebriady, https://news.detik.com/berita/d-4860252/memprihatinkan-sampah-kain-bangkai-ikan-penuhi-pantai-wisata-di-polman, diakses pada 5 April 2020, pukul 13.33 WIT.
[6]Martin Suryajaya, Sejarah Estetika, (Jakarta Barat: Penerbit Gang Kabel, 2016), hal 711.