Mappiara Kombucha: Catatan Karya Normal Baru

Karya Normal Baru hadir seperti menjemput keresahan kami karena beberapa bulan menahan diri tidak keluar rumah. Kondisi berlama-lama di rumah banyak membuat orang kembali merefleksikan kerja-kerja yang sudah dilakukan atau punya waktu menyusun kembali rencana kerja.

Kabar open call proposal kerja sama tiga biennale di Indonesia memantik kami mencoba peruntungan dengan mengirim proposal. Saya dan Syahrani Said sempat membahas soal rencana ikut mengirim proposal saat itu. Namun hanya Rani dan Pai yang mengirim proposal, saya sendiri harus mengerjakan kerjaan lain.

Selanjutnya kabar gembira datang melalui pesan WhatsApp: Proposal Syahrani Said (Rani) dan Abdul Rifai (Pai) lolos. Hari itu juga saya diajak untuk terlibat dalam pengaryaannya. Kabar gembira itu seperti harapan yang datang ketika masih harus menerka kapan Covid-19 berakhir.

Tidak jauh dari isu pandemi yang kita hadapi saat ini masing-masing biennale mengangkat tema berbeda: Jakarta Biennale “Esok Membangun Sejarah Bersama”, Biennale Jogja “Cur(eat)ing the Earth Shifting the Centre: Tata Bumi Baru Tata Seni Baru”, dan Makassar Biennale “Sekapur Sirih”. Proposal Rani dan Pai lolos di Makassar Biennale dengan tema awal “Kata Kota” lalu diganti “Mappiara”.

Proses kerja tim Mappiara mempersiapkan karyanya. (Foto: tim dokumentasi Mappiara)

Setelah membentuk tim kami turun ke lapangan dengan perasaan masih dihantui Covid-19, apalagi Parepare sebelumnya dinyatakan berstatus zona merah, makanya pemerintah kota mengawasi ketat segala aktivitas yang dilakukan masyarakatnya.[1] Selain itu penjagaan ketat di perbatasan masuk Kabupaten Soppeng menjadi pertimbangan kami untuk menemui informan. Kami pun mengumpulkan terlebih dahulu informasi dari teman dan media seketat apa dan bagaimana prosedur untuk bisa menembus penjagaan.[2]

Cukka Tua’?

Rani tidak menyangka kombucha yang sering dia panen (masa fermentasi selesai dan sudah bisa dikonsumsi) ternyata pernah juga dibuat oleh ibunya, Hj. Nashar (56). Awalnya Rani tidak percaya hal itu, tetapi Hj. Nashar meyakinkan bahwa dia pernah membuat waktu umurnya masih 7 tahun. Hj. Nashar adalah salah seorang yang ikut menyebarkan kombucha, yang warga setempat kenal dengan sebutan cukka tua’.

Hj. Nashar membuat cukka tua’ menggunakan sari lontar yang banyak ditemukan pohonnya di sekitar tempat tinggalnya di Kelurahan Limpomajang, Kecamatan Marioriawa, Kabupaten Soppeng, tidak jauh dari Danau Tempe. Saat itu jamur pekke’ buatan Hj. Nashar dibarter dengan ikan tangkapan warga dari danau: “Itu hari saya punya nenek termasuk juga ini adalah mata pencahariannya, jadi biasanya kalau ada orang dikasih tidak bayar, tetapi ditukar dengan ikan sesuai dengan harganya ini barang [kombucha].”[3]

Penuturan Hj. Nashar membawa kami menuju Soppeng untuk mencari orang-orang yang pernah minum cukka tua’. Kami menemui dua tetangga Hj. Nashar yaitu Hj. Herawati dan Hj. Rahmania yang pernah mencoba cukka tua’. Hj. Rahmania mengonsumsi untuk kesehatan berdasarkan saran tetangganya, apalagi orang mengenalnya jamur cocok untuk kesehatan: “Makkadami taue pabbura. Nasengmi taue jamur (Orang-orang bilang obat. Orang menyebutnya jamur).”[4]

Berbeda dengan Hj. Rahmania, Hj. Herawati tidak tahu sejak kapan dan dari mana awal cukka tua’ datang, alasan ingin mencobanya karena penasaran banyak orang menyarankannya: “De na wingngerrang niga malekka, tappa engkami je’ mompo’. Makkadami taue engka koroe pabbura makanja pada ninung tau e (Saya sudah lupa siapa yang kasih, tiba-tiba saja ada. Kata orang ada di situ ada obat bagus, orang-orang pada minum).”[5]

Hj. Nashar sebagai orang yang pernah membantu neneknya membuat cukka tua’ tidak tahu dari mana neneknya mendapatkan scoby (symbiotic colony of bacteria) (jamur yang dicampurkan untuk fermentasi sari lontar), dia hanya mengenalnya dengan jamur pekke’. Penyebutan itu jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia bisa bermakna jamur tumbuh atau berkembang. Dalam proses fermentasi, scoby berkembang hingga berlapis-lapis.Dari lapisan-lapisan itu yang diambil lalu dibagikan ke tetangga yang lain sebagai obat alternatif.

Pengetahuan masyarakat membuat cukka tua’ pada masa lampau hilang tanpa berlanjut ke generasi selanjutnya. Seperti yang disampaikan Tasrifin Tahara dalam kesempatan kelas virtual Sekapur Sirih, program penelitian 5 kota di Indonesia yang dilaksanakan Makassar Biennale, bahwa pengobatan bisa bertahan karena salah satunya faktor religiusitas: “… religi itu paling penting karena di banyak komunitas, daun-daun itu menjadi media untuk praktik ritual upacara-upacara tertentu … di masa lampau.”[6] Kemungkinan cukka tua’ tidak menjadi bagian dari ritual atau praktik keagamaan pada masa lampau di Limpomajang yang menyebabkannya bisa hilang.

Kombucha Membangun Hubungan Sosial Masyarakat

Tidak hanya di Soppeng, kami juga menelusuri orang-orang yang pernah merasakan khasiat dari teh kombucha di Kota Parepare. Kami bertemu Ibu Mariati (57) yang sudah divonis batu empedu dan harus menandatangani surat pernyataan segera melakukan operasi. Ditambah penyakitnya yang lain seperti jantung dan ginjal.

Ibu Mariati mengonsumsi kombucha sejak Mei tahun 2017 yang dia dapatkan dari perawat rumah sakit berdasarkan informasi tetangganya yang juga sakit: “Tetangga saya istrinya masuk rumah sakit, ada yang bawa masuk ini [kombucha], langsung bapak itu sebelah [tetangga] ingat saya. Dulu kan sakit-sakitan toh, pulang itu bapak dikasi tahu dia bilang di sana itu ada teh kombucha namanya. Nabilang bagus sekali katanya dikonsumsi baru ada juga di situ pasien langsung bilang betul, saya juga konsumsi begitu.”[7] Sejak itu dia punya harapan untuk sembuh dan menunda untuk dioperasi.

Tim Mappiara saat berkunjung ke rumah Ibu Mariati di Kota Parepare sambil mencicipi teh kombucha. (Foto: tim dokumentasi Mappiara)

Sampai saat ini Ibu Mariati masih mengonsumsi kombucha dan menyebarkan ke tetangganya sampai ke besannya di Palu, Sulawesi Tengah.

Kami juga menemui Ibu Rahmawati (50) yang sudah mengonsumsi kombucha selama tiga tahunan. Sebelum dinyatakan sembuh, Ibu Rahmawati menderita gondok beracun. Ibu Rahmawati baru merasakan khasiatnya setelah kurang lebih setahun mengonsumsi.

Ibu Rahmawati mendapatkan informasi tentang teh kombucha dari keluarganya di Lemoe, Kecamatan Bacukiki, yang punya tetangga sudah lama merasakan manfaatnya. Namun untuk mendapatkan scuby Ibu Rahmawati harus membeli melalui daring. Sejak tahun 2019 Ibu Rahmwati sudah berhenti meminumnya karena sudah sembuh dari penyakit gondoknya.

Kami menemui Ibu Sade’ (55) di Lemoe, beliau pernah dikemoterapi enam kali pasca operasi kanker payudara stadium tiga pada tahun 2017. Ibu Sade’ mengalami kesulitan tidur pada malam hari karena merasa panas, sehingga selalu berjalan tengah malam untuk membantu sedikit sakit yang dia rasakan. Rambutnya mengalami kerontokan akibat dari kemoterapi setiap dua puluh satu hari.

Ibu Sade’ mengonsumsi kombucha berkat saran dari Ibu Mariati. Pertemuan mereka terjadi di puskesmas. Awalnya Ibu Sade’ tidak mengenal Ibu Mariati karena terlihat berbeda dan sehat sekali. Dari pertemuan itu, Ibu Mariati memberi scuby kepada Ibu Sade’ yang langsung datang ke rumahnya: “Itu dulu kudapat di puskesmas komplikasi mi penyakitnya … tidak kutahu mi mattappa monyet mi … selama itu na minum bagus putih gemuk juga.”[8]

Hari itu juga setelah meminum teh kombucha, Ibu Sade’ langsung tertidur pulas yang sudah beberapa tahun tidak dia rasakan: “Kuminum itu satu gelas tidur nyenyak meka tidak bangun meka salat subuh.”[9]

Teh kombucha menjadi rantai yang saling tersambung hingga membangun hubungan sosial masyarakat untuk saling merawat kesehatan. Informasi dari mulut ke mulut menjadi media menyampaikan kabar baik bagi yang sakit. Upaya untuk tetap menyebarkan hingga memelihara scuby masih terus dilakukan masyarakat. Para informan yang sudah merasakan khasiatnya terus menjaga dan merawat minuman sehat untuk keluarga.

Mappiara jika diartikan ke bahasa Indonesia bermakna ‘memelihara’ atau ‘merawat’. Alasan kami memilih itu karena usaha masyarakat tetap mappiara kombucha masih ada sampai saat ini. Makna mappiara juga kami tuangkan ke dalam tim penelitian ini untuk tetap memelihara egois masing-masing karena punya latar individu dan ruang belajar yang berbeda. Begitu pun ketika di lapangan maupun dalam diskusi proses pengaryaan. Mappiara rasa “lebih tahu” dari orang-orang yang kami temui juga kami selalu jaga karena pengetahuan itu datang dari mereka. Karya mappiara juga menjadi tantangan tersendiri bagi tim untuk menerjemahkan hasil penelitian ke dalam bentuk mapping video dan dokumenter.

:: Andi Musran, bekerja dan belajar di Sampan Institute. Tergabung dalam Cella Eja Art, saat ini sedang melakukan pegarsipan aktivitas kesenian di Kota Parepare.

Catatan: Karya Mappiara, dapat diakses di SINI!


[1] https://beritasulsel.com/baca/masih-zona-merah-covid-19-sekolah-di-parepare-terapkan-pbjj, diakses pada tanggal 18 September 2020, pukul 23.30 Wita. 

[2] https://www.sulselsehat.com/soppeng/2447/masuk-soppeng-harus-tunjukkan-surat-keterangan-bebas-covid-19/, diakses pada tanggal 18 September 2020, Pukul 23.33 Wita.

[3] Wawancara 17 Juli 2020.

[4] Wawancara 16 Juli 2020.

[5] Wawancara 16 Juli 2020.

[6] Kelas Sekapur Sirih #2, 13 September 2020.

[7] Wawancara 18 Juli 2020.

[8] Wawancara 19 Juli 2020.

[9] Wawancara 19 Juli 2020.

Bagikan:
Pin Share

Tinggalkan Balasan