Puluhan kali bunyi gesekan tegel dan sepatu melengking nyaring dan tinggal lama di daun telinga. Seorang pria dengan celana jins biru serta baju dan topi hitam, sedang memperagakan tarian modern bergaya Michael Jackson bercampur tarian budaya Papua. Dengan musik hip-hop bertempo cepat, ia seperti sedang memantulkan sesuatu dari kaki menuju pinggul, dada, tangan, lalu berakhir di kepala. Setiap pantulan itu menciptakan lekuk-lekuk cembung di tubuh seiring dengan senyum yang pelan-pelan merekah dari bibir penonton yang berderet di hadapannya.
“Jadi seperti yang saya bilang tadi, karena saya tidak sekolah tari, apa yang saya pikirkan, lihat, amati, itu yang saya tarikan,” jelas Marjan Rumagesan, pemateri workshop “Papua Dance Modern” yang berlangsung di Aula Gedung PU Nabire, Jumat 28 Oktober 2021.
Setelah mengatur nafas, Marjan mulai menjelaskan apa yang baru saja ia praktikkan. Masih dengan nafas terengah-engah, ia berdiri setelah melepas botol minuman yang baru ia minum airnya, “Misalnya, kalau saya lihat botol, saya akan bikin begini,” jelas Marjan. Ia lalu menggerakkan tangannya ke arah atas seperti memegang botol lalu menirukan gaya minum air dengan dance.
Ketika sedang dance, Marjan punya ciri khas. Tubuhnya akan bergerak selincah mungkin, tetapi ekspresi wajahnya tetap sama. Ia seperti sedang tersenyum dengan gigi yang selalu terlihat. Sesuatu yang pelan tapi pasti membikin penonton ikut tersenyum. Tak hanya ketika dance, bahkan ketika kami duduk berbicara, ia selalu tersenyum. Ada ketulusan yang begitu terasa ketika berbicara dengannya. Dengan senyum itu, ia menatap lawan bicara, mendengarkan dengan saksama, tapi hanya beberapa kata yang akan ia keluarkan. Ia memang lebih banyak bergerak daripada berbicara.
Ketulusan itu pula yang dirasakan ketika ia menceritakan pengalamannya mengajar dance sejak tahun 2001 di Nabire, Papua, “Saya tidak pernah minta sepersen pun sama sa pu anak-anak murid,” jelasnya. Pria 38 tahun ini, sampai sekarang masih menerima anak-anak yang hendak belajar dance padanya. Ia memang sejak dulu terlibat banyak dengan anak-anak.
Pada tahun 2008 – 2009, ketika tenar-tenarnya Michael Jackson di Papua, ia pernah dikejar parang oleh salah satu orang tua murid dance-nya. Hal itu terjadi lantaran Michael Jackson dianggap sebagai sosok yang “berbahaya”, juga dianggap representasi dari budaya barat yang dianggap mengancam kebudayaan lokal. Padahal, ia punya konsep yang sama sejak dulu: setengah modern dan setengah tradisional. Dua hal ini sama-sama diajarkan pada tiap murid yang berguru padanya. Sialnya, ketika di rumah, murid-muridnya hanya menampilkan tarian modern di hadapan orang tua mereka. Hal inilah yang membikin Marjan kerap berurusan dengan para orang tua murid.
Marjan menjelaskan pada sesi workshop ini, tarian modern, kali pertama ia kenal sejak kelas satu SD di tahun 1989 di Kota Sorong. Di tahun-tahun itu, dance masih menggunakan lagu-lagu melayu gong 2000. Lalu ketika dance mulai masuk ke Sorong dari Kota Ambon, mulailah dikenal dance dengan lagu-lagu “barat”, seperti hammer dance dan Jacko Dance. Ia banyak diajari oleh kakaknya, Abidin Rumagesan, yang namanya duluan harum dalam kalangan anak dance di Sorong, hingga Papua.
Pada tahun 2001, ia tiba di Nabire hendak melanjutkan sekolah. Ia tinggal bersama kakak iparnya, seorang lelaki berdarah Makassar, yang dipercayakan oleh orang tuanya untuk menjaga Marjan dari kenakalan remaja, “Bulan Agustus, tanggal sepuluh, ada panggung hiburan di Taman Gizi. Nah, saya beranikan diri untuk daftar. Dulu itu namanya bukan dance, tapi ‘gerak dan lagu,” kenangnya. Setelah ia tampil di panggung hiburan itu, dance mulai dilirik oleh beberapa kelompok anak muda di Nabire.
Ia lalu mulai membentuk grup dance bernama Anker, singkatan dari Anti Kenakalan Remaja. Ia mengumpulkan anak-anak sekolah, lalu mengajarkan dance pada mereka. Tak lama berselang, kakak iparnya yang sehari-hari bekerja memperbaiki jam rusak di Pasar Oyehe, tertarik dengan apa yang dikerjakan oleh Marjan. Ia lalu memberinya modal lima juta untuk mengadakan lomba dance di Gedung Rani, depan Bandara Nabire. Ajang ini jadi lomba dance pertama yang diadakan di Nabire.
Istilah dance pun turut mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Setelah “gerak dan lagu”, istilah ini berkembang menjadi “kontemporer”, sebuah istilah yang tercipta ketika melihat perpaduan antara tari tradisional dan modern.
“Kalau kita bilang ke anak muda, ‘ayo kita latihan tari Papua’, mereka tidak akan mau. Jadi kita pakai dance modern untuk tarik minat anak muda pada tarian-tarian yang ada di daerah kita,” jelas Marjan. Rupanya, upaya ini berhasil. Dalam sesi tanya jawab, Arnold Pakage, seorang peserta workshop yang hadir, mengonfirmasi pernyataan Marjan dengan menjelaskan, di masa-masa itu, dance dan anak muda begitu dekat, “Kalau dulu itu, dance itu untuk anak-anak sekolah saja. Jadi muncul anak-anak dance dari sekolah Antonius, SMP 5, Adi Luhur, begitu. Itu memang identik dengan anak sekolah”.
Di sesi itu, Arnold juga menceritakan pengalamannya bersentuhan dengan dance. Di masa-masa itu, ia tergabung dalam grup dance Dewa 19 di Siriwini, Nabire. Ia mengakui bahwa Anker adalah grup dance yang besar pada masa itu, juga menjadi pemicu dari tumbuhnya grup-grup dance lain yang ada di Nabire.
“Waktu itu, kami suka sekali dengan Michael Jackson. Terus waktu tadi kaka bilang bikin lomba, kami pergi nonton terus lihat kaka bikin gerakan yang sama dengan Michael Jackson itu, kami langsung bilang, ‘Ah! Ini sudah, Michael Jackson Papua’,” kenang Nomensen Douw, salah satu peserta workshop yang turut mengenang masa jaya dance dahulu. Ia mengaku sebagai salah satu fans dari Marjan Rumagesan sejak lama.
Mikael Kudiai, juga seorang peserta workshop, mengenang masa-masa bupati A. P. Youw, yang ramai dengan kegiatan-kegiatan seni. Pada masa itu, dewan kesenian, dinas pendidikan, dinas kebudayaan, dan lain-lain, berkolaborasi menciptakan ruang-ruang distribusi untuk anak-anak yang punya bakat seni. Salah satu contohnya, kompetisi-kompetisi seni antar sekolah. Termasuk dance.
“Sekarang sanggar-sanggar itu memang masih latihan, masih eksplorasi, tapi panggungnya tidak ada,” jelas Mikael. Ia mengenang keramaian ketika festival budaya di tahun 2010 yang dipenuhi oleh seniman, budayawan, dan pekerja kreatif. Setelah itu sampai sekarang, tak banyak kegiatan seni yang dilakukan.
Marjan menambahkan apa yang disampaikan Mikael dengan pengalamannya berkesenian. Pada tahun 2003, ia diajak bergabung dengan Sanggar Seni Keltomini asuhan Ibu A. Modouw. Ia direkrut untuk menjadi salah satu dancer yang akan menjadi bagian dari program kerjasama Sanggar Seni Keltomini dengan salah satu yayasan di Bali yang memberi ruang untuk Papua menampilkan tariannya di taman budaya Taiwan.
Di Taiwan, ia tinggal selama satu tahun enam bulan. Di sana, dalam satu hari, ia dan kawan-kawannya menari delapan kali dari jam tujuh pagi hingga jam enam sore. Pulang dari Taiwan, di tahun 2004, ia dan kawan-kawannya membawa nama Nabire mengikuti Pekan Olahraga dan Seni (Porseni) di Jayapura. Mereka membawa tarian balada cendrawasih dan menyabet juara. Sebelum berangkat ke Taiwan, masih di tahun 2003, ia juga ikut menjadi bagian dari kontingen Nabire di Festival Kreasi Papua di Biak. Nabire lagi-lagi menyabet gelar juara satu umum.
“Waktu pemerintahan A. P. Youw, dia betul-betul perhatikan seni. Dulu dalam setahun, untuk dance saja saya bisa kumpul sampai seratus piala. Karena saya punya didikan banyak yang juara. Dulu, satu minggu baru ikut event, satu minggu berikutnya kami ikut event lagi. Jadi event itu berjalan terus,” kenang Marjan.
Workshop “Papua Modern Dance” ini, alih-alih mempraktikkan dance, para peserta yang hadir justru mengenang kembali masa-masa jaya dance beserta ruang-ruang tumbuhnya. Barangkali karena yang hadir rata-rata mantan dancer. Hal yang agaknya ironis ketika melihat dance tumbuh dan melahirkan orang-orang yang tak melanjutkan dance lantaran tak ada ruang-ruang yang tersedia.[]
Fauzan Al Ayyuby, tim kerja Makassar Biennale – Nabire