Melipat Jarak 40 Ribuan Tahun: Catatan Residensi Seniman MB Pangkep 2021 Bagian 1

Malam itu, Selasa, 31 Agustus 2021, kira-kira dua jam menuju peralihan bulan Agustus ke September. Afdal, Saenal, dan Sarif pamit dari rumah saya. Selama kurang lebih satu jam, kami berbincang kembali mengenai siasat yang akan dijalankan dalam menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan dalam perhelatan Makassar Biennale 2021. Tahun ini, Pangkep untuk pertama kalinya menjadi salah satu kota yang mengambil peran.

Perbincangan seperti ini tentu bukan kali pertama dilakukan. Dan, malam itu menemui puncaknya, seniman yang akan melakukan residensi di Pangkep sudah dalam perjalanan. Sebelumnya, pada siang hari, Regina, Tim Kerja Makassar sudah mengabarkan kalau Dahri Dahlan, seniman dari Samarinda, Kalimantan Timur akan tiba di Pangkep pada 1 September.  Segera saja ia mengirimkan nomor kontak Dahri agar Tim Kerja Pangkep berkontak langsung dengan Dahri.

Melalui percakapan via WhatsApp Dahri akan bertolak ke Pangkep dari Polman, Sulawesi Barat pada pukul 10 malam. Rupanya, setelah tiba dari Samarinda, ia ke kampung halamannya lebih dulu sebelum ke Pangkep.

Jika menghitung jarak tempuh, Dahri akan tiba di Pangkep pada pukul satu atau dua dinihari. “Saya sudah tidur, Boy,” ujar Afdal. “Saya juga, Boy.” Sarif menyambung. Malam itu, dua jam sebelum memasuki bulan September. Kuda, sapaan akrab Saenal hanya terdiam. Ia tahu kalau tugas menjemput akan diberikan kepadanya. “Ayolah, Boy.” ledek Afdal. Kuda tetap diam dan hanya melempar senyum. “Intinya begini, Boy. Hape jangan dimatikan,” ucap saya.

Ini sejarah bagi kita semua. Saya juga kurang tahu persis seperti apa nantinya seniman melakukan residensi di Pangkep. Hal pertama yang perlu dilakukan adalah menjemput dan menyiapkan tempat menginap. Dua hari sebelumnya, saya sudah berbincang dengan Om Uccang, Tim Kerja MB Parepare mengenai residensi. Saya mencari tahu apa yang perlu dilakukan. Pilihan mengontak Om Uccang didasari karena Parepare sudah mengikuti dua kali perhelatan MB. Dari dua perhelatan itu tentulah sudah memiliki tabungan pengalaman mengelola siasat–residensi. “Santai saja, Kak. Ini mudah saja. Seniman itu juga manusia. Anggap saja teman. Dan, memang seharusnya teman.” Kalimat itu yang saya ingat dari suara Om Uccang melalui telepon. 

Waktu terus bergeser, kini bukan lagi dua jam memasuki September. Malam itu Afdal, Kuda, dan Sarif balik ke rumahnya istirahat. Khusus Kuda, di saku celananya sudah tersimpan catatan kalau pukul satu atau dua dinihari sebentar akan ke Tugu Bambu Runcing menjemput Dahri. 

Menjelang pukul dua dini hari, pesan WhatsApp Dahri mengabarkan kalau mobil yang ditumpanginya sudah di Barru. Hingga ia menelpon lagi kalau sudah tiba di Pangkep. Ia turun di tempat yang telah disepakati: Tugu Bambu Runcing. Saya mengontak Kuda dan mendengar suara beratnya di ujung telepon. “Kita bertemu di Bambu Runcing, Boy.” 

Saya sudah berbincang sekitar lima menit dengan Dahri sebelum Kuda tiba. Kami lalu duduk di emperan dan merekam peristiwa: berswafoto dan melanjutkan perbincangan sebentar lalu bertolak ke indekos di Jalan Anggrek. Indekos itu menjadi ruang bersama kawan-kawan jaringan di Pangkep. Adalah Ardi Wiranata, jurnalis di Pangkep yang bertanggung jawab atas indekos itu. Sebulan sebelumnya, kami sudah membangun kesepakatan kalau indekos itu akan digunakan sebagai ruang penginapan seniman yang akan melakukan residensi di Pangkep. 

Siasat seperti itu dilakukan karena Tim Kerja Pangkep belum memiliki sekretariat yang bisa ditempati. Sejauh ini, memang kerja kolektif yang dilakukan bertumpu pada pengaturan pertemuan di Warkop. 

Bertemu dan Menjelajah

Esoknya, kami menghabiskan waktu di Warkop Shiniki. Kami–tim kerja Pangkep mengenalkan Dahri ke kawan-kawan jaringan di Pangkep. Pilihan indekos itu juga karena jaraknya dekat dengan Shiniki sehingga Dahri bisa berjalan kaki. Kami menganggap kalau Shiniki lebih dari Warkop, itulah mengapa ruang perjumpaan banyak dilakukan di situ. Syaharuddin Tola, pemilik Warkop, dengan lapang menyambut. Di Warkop ini pula, kami merencanakan pemutaran film dokumenter Hikayat Pengobatan Bedak Basah: Warisan yang Diturunkan Melalui Mimpi. Sebuah film yang menjadi bagian dari Karya Normal Baru, program pra-event MB 2021.

Keesokan harinya, jelajah ke lanskap karst di Kampung Belae, Biraeng, Minasatene kami lakukan. Dahri menyampaikan, kalau ia kenal dengan Drs H Ahmad Djamaan MSi, Kadis Pariwisata dan Kebudayaan Pangkep (Disparbud).  Dari jaringan itu, pihak Kadis kemudian mengutus dua stafnya untuk menemani kami mengunjungi sejumlah leang di Belae. Hal ini sebelumnya di luar kerangka rencana tim kerja, karena awalnya kami juga sudah membangun komunikasi dengan Ady Supriadi, warga Belae yang memiliki perhatian lebih tentang keberadaan lukisan purba di sejumlah leang (gua) di Pangkep.

Dahri mengungkapkan bahwa konsep awal residensinya ke Pangkep adalah membuat perbandingan antara karts di perbatasan Kalimantan Selatan-Kalimantan Timur dengan Pangkep. Dalam buku laporan Potret dan Rencana Pengelolaan Ekosistem Karst Ekoregion Kalimantan-Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion (P3E) Kalimantan 2016, mencatat luas kawasan karst di Kalimantan Selatan mencapai 312.934 ha. Terluas di Kabupaten Kota Baru dengan luas 224.869 ha atau sekitar 71 persen. Di Kalimantan Selatan sendiri telah beroperasi dua perusahaan semen yakni PT Indocement Tunggal Prakarsa TBK di Kota Baru dan PT Conch South Kalimantan Cement di Kabupaten Tabalong. “Waktu kuliah di UNM dulu, saya sering ke Pangkep. Ada banyak teman di sini, tetapi belum pernah fokus menjelajahi karst,” ujarnya. Baru belakangan ini, Dahri mulai tertarik mendalami karst khususnya lukisan purba yang terkandung dalam sejumlah gua di Pangkep.

Usai menyelesaikan studi Strata Satu jurusan Sastra Indonesia di UNM Makassar, ia ke Semarang, Jawa Tengah guna melanjutkan studi Magister Susastra di Universitas Diponegoro, dan sejak enam tahun lalu, ia mengampu mata kuliah Ilmu Budaya di Universitas Mulawarman Samarinda, Kalimantan Timur. Program residensi sendiri bukan hal baru bagi Dahri, pada 2019-2020 ia mengikuti residensi penulis Weaving Stories oleh British Council Indonesia. Karya yang dihasilkannya kala itu kemudian diadaptasi Teater Koma-Dapoer Dongeng untuk serial sandiwara radio berjudul Cerita Samariona yang dapat didengarkan di Spotify.

Saat kunjungan awal ke karst Belae, tidak banyak yang bisa kami eksplorasi. Pak Akmal, Staff Disparbud hanya mengantar sampai di depan Leang Gua. Kami tidak bisa masuk ke dalam gua, karena layanan gua masih ditutup selama pandemi. Sore itu, Rabu, 2 September kami hanya duduk di depan pintu masuk Leang Kassi dan bertukar cerita tentang lukisan purba yang rerata berusia 40 ribuan tahun lebih yang ada di dalam gua. Suasana saat itu mendukung karena di depan pintu masuk,  ada warung warga yang menyediakan kopi dan pisang goreng.

“Dalam UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, poin utamanya mengenai upaya perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya. Perlindungan menyasar upaya mengidentifikasi dan mengklasifikasi temuan warisan budaya yang diduga cagar budaya. Selanjutnya dilakukan tahapan pengkajian untuk menunggu rekomendasi dari ahli cagar budaya,” terang Pak Akmal.

Sore itu kami berpisah dan keesokan harinya kami bertemu kembali untuk berkunjung ke Bulu Sipong 4 yang menyimpan lukisan purba figuratif tertua di dunia. Dalam tayangan di akun YouTube Budaya Saya yang diposting enam bulan lalu bertajuk Leang Bulu Sipong: Jejak Purba Tertua di Dunia yang Tersingkap,  diterangkan di dalam leang yang berada 20 m di atas lembah ini, terdapat gambar cadas berukuran 3×4,5 m yang secara tidak sengaja ditemukan oleh Hamrullah ketika sedang melakukan survei. Dalam prosesnya ia memanjat pohon hingga menemukan leang berisi gambar cadas tersebut.

Rustan SS, Koordinator Pokja Kawasan Karst Maros Pangkep, melalui percakapan lewat WhatsApp menyampaikan kalau Hamrullah merupakan arkeolog lepas dan penjelajah gua yang kerap diajak kerjasama oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sulawesi Selatan. 

Siasat berkunjung ke Bulu Sipong sudah diupayakan jauh hari, Tim Kerja Pangkep pernah mengajukan surat ke PT Semen Tonasa karena kawasan karst Bulu Sipong 4 masuk dalam area konsesi perusahaan semen yang sudah beroperasi sejak 1968 tersebut. Balasan yang diterima dari perusahaan tidak bisa memutuskan dan mengarahkan ke BPCB. 

Pada satu malam di pekan terakhir bulan Juni, saya dan Saenal, atas upaya Ady Supriadi, kami berkesempatan berjumpa dengan Pak Rustam yang sedang melakukan peninjauan di sejumlah leang dan menginap di Kampung Belae, ia menerangkan bahwa  kawasan Bulu Sipong 4 memang masih tertutup mengingat masih dalam penelitian lanjutan dan ditambah situasi pandemi. “BPCB telah memasang CCTV di dalam gua tempat lukisan figuratif tertua,” ucapnya. 

Meski demikian, rasa penasaran yang membuncah ingin melihat wujud Bulu Sipong 4 akhirnya terpenuhi juga, pada Jumat, 3 September, upaya komunikasi yang kami bangun ke Pak Akmal dengan juru pelihara gua akhirnya mendapat respons. Kami lalu berkunjung ke Bulu Sipong 4. Perjalanan ke sana melewati jalan tanah yang bergelombang, medan yang membuat laju sepeda motor melambat. Dari kerukan di kedua sisi jalan dapat diterka kalau itu bekas gilasan roda truk yang lalu lalang mengangkut material. Bongkahan limbah bekas perusahaan marmer dan bekas galian yang membentuk kubangan besar juga menjadi pemandangan yang membuat Dahri keheranan. Jarak tempuh memakan waktu sekitar 35 menit dari pintu gerbang gua menuju kantor pusat PT Semen Tonasa, di tempat itulah kami membangun kesepakatan bertemu dengan Pak Akmal. 

“Itumi gunungnya bulu sipong,” ujar Pak Akmal dari atas motor sembari menunjuk bukit karst yang terpisah dari bentangan karst yang lain. Itu pula kenapa dinamakan bulu sipong (Bugis: gunung berdiri sendiri). 

Kami bertemu dengan Pak Amir, juru pelihara (jupel) gua Bulu Sipong 4. “Maaf, saya tidak bisa membantu melihat lukisan karena masih ditutup,” ujarnya. Kami harus maklum dan memahaminya. Niatan ke sana memang hanya ingin mengetahui lokasi Bulu Sipong saja, tidak untuk melihat langsung figuratif tertua. Pada kesempatan itu kami hanya berbincang dan bertukar informasi di gazebo tempat Pak Amir berkantor.

“Saya pernah dianggap orang gila oleh warga karena setiap hari membersihkan gua,” ujarnya yang membuat kami tertawa. Memang agak rumit memahami pekerjaan Pak Amir. Namun, ia tidak sendiri, di beberapa leang juga sudah ada jupelnya. Jadi, saban pagi, sesuai jam kantor, Pak Amir berkunjung ke Belae dulu untuk melakukan absensi di kantor perwakilan BPCB lalu kembali lagi ke area Bulu Sipong dengan jarak tempuh sekitar 40 menit.

Menduga Rupa Menyelesaikan Teka Teki

Guna menyambungkan imajinasi dan upaya melipat jarak yang dibayangkan Dahri yang tertimbun di benaknya mengenai karst dan lukisan purba berusia rerata 40 ribuan tahun lebih di dalamnya, tim kerja mempertemukannya dengan Ady Supriadi, usia keduanya tidak terpaut jauh dan masih segenerasi. Ady merupakan penggiat karst, dan sejak kecil sudah melihat aneka rupa lukisan purba di dalam gua ketika kakeknya, Daeng Ambo, kala itu juru pelihara gua sering mengajaknya menjelajah gua. Setelah itu, kini ayahnya, Pak Haeruddin, yang berusia 55 tahun, rekan seprofesi Pak Amir, juru pelihara Leang Kassi dan Kajuara di kawasan Karst Belae. 

“Saya belum tahu persis hasil residensi saya ini wujudnya seperti apa. Soalnya manajemen MB memberikan kebebasan,” ucap Dahri. Selama 15 hari Dahri berada di Pangkep, bersama tim kerja, ia telah melakukan kunjungan di sejumlah gua, termasuk ke kawasan karst yang sudah dimanfaatkan menjadi kawasan wisata di Sumpang Bita. Sayangnya, kembali mengingat situasi pandemi, jelajah yang dilakukan hanya bisa sampai di bagian luar gua. 

Hasil perbincangan mendalam dengan Ady berbuah pada kunjungan ke Leang Sakapao pada Rabu, 9 September. Perjalanan ke sana melewati area persawahan dengan berjalan kaki sekitar 25 menit. Saat itu, salah satu kurator MB, Pingkan Polla juga hadir. Hari itu, ia tiba di Pangkep selepas duhur dari kunjungannya melihat persiapan Tim Kerja MB Parepare. Ia menyampaikan kalau tujuan residensi itu sederhana. “Tujuannya ya nongkrong dan bertukar pengetahuan dari satu komunitas ke komunitas yang lain. Mengenal pengetahuan lokal di lokasi yang dikunjungi di Sulawesi Selatan atau yang masuk wilayah Wallacea,” ungkapnya.

Memahami ungkapan Pingkan, tentu ada perbedaan antara residensi dengan wisatawan. Perilaku yang terbangun dari konsepsi residensi merupakan upaya melebihi dari sebatas datang dan melihat.

Di pekan terakhir, Dahri juga berkunjung ke kuburan tua di Baru-Baru Tangnga yang diduga kuburan pelaut mandar di masa lalu, warga setempat menyebutnya jera lompoa Dato Mandar. Kawasan karst di Kampung Lamperangan, Desa Kabba juga dijelajahi sebagai bagian yang tak terpisah dari bentangan karst di Belae. 

Sehari sebelum balik, Dahri ke komunitas Bissu di Segeri dan bercakap dengan Bissu Eka dan Puang Matoa Bissu Nani di rumahnya. Di awal kedatangannya, Dahri sempat mengutarakan jadwalnya kalau seminggu fokus mengunjungi kawasan karst dan seminggu sisanya ingin ke komunitas Bissu. Tentu saja rencana itu sedikit berubah mengingat situasi yang dialami.

Terkait dengan hasil akhir dari proses residensinya, Dahri sementara itu melanjutkan eksplorasi dan penjelajahannya mengumpulkan literatur terkait pegunungan Karst di Pangkep dan Kalimantan.[]

F Daus AR , tim kerja Makassar Biennale 2021 – Pangkep

***

Referensi:

https://issuu.com/yayatrukhiyat/docs/karst_kalimantan. Diakses pada Sabtu, 18 September 2021. Pukul 06.09 Wita

https://www.youtube.com/watch?v=lVhArAuNA7g. Diakses pada 14 September 2021. Pukul 13.21 WIB

http://www.sementonasa.co.id/profile_brief.php. Diakses pada 14 September 2021. Pukul 14.12 WIB

Bagikan:
Pin Share

Tinggalkan Balasan