Mendekati akhir episode Makassar Biennale 2021 Maritim: Sekapur Sirih seri Makassar, pada 13 September 2021 lalu, Kampung Buku kembali menjadi ruang Wicara Seniman, kali ini bersama Rachmat Hidayat Mustamin dan Deli Luhukay. Masing-masing dari mereka menjelaskan tentang cerita perjalanan karya kolaborasi yang menjadi salah satu elemen performance di acara pembukaan MB 2021 lalu—juga memiliki dan menjadi karya instalasi yang dipamerkan di galeri karya Kampung Buku. Dua seniman ini bekerja sama sesuai latar belakangnya masing-masing. Rachmat yang tampil secara langsung menampilkan dirinya secara fisik dan Deli yang tampil melalui karya real-time visual effects, saling menyempurnakan ruang yang dipakai pada performance art melalui tubuh fisik dan tubuh kinetik yang ditampilkan ke penonton.
“Revisi Memori, Batu-Batu, dan Bayang-Bayang” adalah judul yang dipakai untuk karya kolaborasi tersebut. Dalam proses perjalanannya, pernah menjadi suguhan untuk menyikapi tema Sekapur Sirih pada karya New Normal MB 2020. Rachmat menjelaskan tentang bagaimana awal mula karya ini digarap dan akhirnya bisa dikembangkan hingga dieksekusi lebih jauh dengan merangkul Deli bersama seni visualnya—yang awalnya hanya lahir sebagai draft di atas kertas. Sebagai seseorang dengan latar belakang gabungan antara Sutradara, Penulis, Penyair, dan Seniman Performance, pada penggarapan karya ini, Rachmat menggunakan beberapa pendekatan sekaligus. Ia menyusun dan memperdalam alur karya hingga sedemikian rupa dari draft script yang sebelumnya dibuat dan menggembangkannya menjadi sesuatu yang utuh dengan menggunakan puisi sebagai tulang punggungnya.
Pertemuan dengan Anwar Jimpe Rachman selaku direktur dari Yayasan Makassar Biennale, memantik Rachmat untuk memanjangkan draft performance tadi untuk menjadi karya yang akan ditampilkan ke publik secara offline melalui perhelatan kegiatan MB 2021. Selanjutnya, ia bertemu dan bertukar ide dengan Deli yang pada akhirnya berbuah bentuk kerja sama untuk menggabungkan storyline dan seni kinetik menjadi sebuah karya performance. Setelah rampung dengan skrip yang tengah ditangani, ia pun mempresentasikannya untuk kemudian direspons secara visual—menampilkan apa yang sudah dituliskan ke bentuk terjemahan ‘bahasa’ kinetic art. Dalam hal ini, Deli coba menyamakan mood dari apa yang ingin disalurkan oleh Rachmat. Melalui apa yang disebut Pingkan selaku moderator sebagai ‘tubuh representasi’, berupa bayangan-bayangan gelombang acak tapi tetap berpola yang berupaya menangkap kekalutan dari tubuh fisik beserta konteks keadaanya.
Proses kolaborasi ini, dipandang Rachmat sebagai ruang bermain dan bersenang-senang di konteks masa pandemi seperti sekarang. Bahwa kita seharusnya lebih banyak bermain daripada menderita. Ia menjelaskan, kata kunci dari karya ini adalah ‘luka’. Penting untuk mempertanyakan terlebih dahulu tentang representasi apa yang coba digambarkan oleh tubuh di performance itu, dan olehnya malah bisa menjadi memiliki begitu banyak penafsiran. Namun untuk menyembuhkan, pertanyaan mendasarnya adalah luka dalam bentuk apa?
Dari unsur-unsur yang ditampilkan oleh dua seniman tersebut, mereka mengarahkan karyanya untuk menggambarkan sebuah luka yang abstrak. Lebih tepatnya, ada peristiwa yang ingin disembuhkan dalam simbol-simbol ruang dan waktu yang saling tarik ulur antara masa lalu dan masa kini. Rachmat menjelaskannya dengan menggunakan terma Bugis, yakni Riolo dan Rimonri, dalam hal ini Riolo berarti di depan secara ruang tapi di belakang secara waktu dan Rimonri berarti di belakang secara ruang tapi di depan secara waktu. Dan mungkin saja, yang menjadi penyembuh dari luka tadi bukanlah obat medis melainkan pertemuan atau mungkin sesuatu yang lebih sederhana lagi.
Hal ini jugalah yang menjadi alasan mengapa objek-objek yang disiapkan adalah sesuatu yang paling dekat seperti air, jahe, dan kunyit. Bahwa obat yang dibutuhkan untuk sembuh terkadang telah ada di sekitar, kita tidak perlu pergi jauh. Banyak hal bisa didamaikan dengan berdiam diri sejenak, menjeda untuk merenungi apa yang ada dan terjadi di sekeliling.
Dengan karya performance di mana puisi yang menjadi tulang punggungnya, latar belakang karya ini telah menjadi keseruan tersendiri di benak pendengar yang turut mengamati cerita seniman tersebut secara langsung dan melalui kanal Youtube MB. Terlebih ketika karya tersebut dipilih untuk diungkapkan dengan medium lain. Menurut Rachmat, untuk membuatnya lebih ‘menyenangkan’ bait-bait puisi tersebut coba ditransfer ke bentuk yang lebih performatif—dan membuatnya memilih untuk menghadirkan karya tersebut dalam wujud performance, sesuatu yang memang ia senangi dari track recordnya pernah menjadi seorang pemain teater.
Lebih lanjut, ide ini juga dikuatkan dengan kondisi pandemi yang belakangan membatasi kontak antar manusia. Bahwa kerinduan akan kerja-kerja seni performance makin menjadi-jadi. Rachmat berbagi kegamangannya akan hal tersebut. Ia ingin bertemu banyak tubuh, mengalami perputaran energi dari banyak orang lagi. Dua tahun belakangan di masa pandemi terasa seperti waktu yang begitu menekan, menjadi alasan mengapa karya ini lantas mewujud bak penjernih dari kepenatan tersebut. Merespons ruang yang dibatasi dengan memanfaatkan teknologi untuk memperluas apa yang jamak disebut sebagai panggung, bahwa penggunaan teknologi juga berperan sebagai perpanjangan dari panggung dan tubuh fisik untuk merepresentasikan ruang yang ingin dimaksudkan, menjadi wahana berkarya sekaligus bermain yang sarat akan gebrakan menarik.
Wicara seniman ini akhirnya ditutup dengan beberapa impresi dari peserta diskusi yang juga melihat langsung penampilan Rachmat dan Deli pada malam pembukaan MB 2021.[]
Nurul Muthmainnah, tim Makassar Biennale 2021