Sekitar jam setengah delapan malam, beberapa pemuda berdiri di Tarungku Toae, bekas penjara tua Bulukumba, yang berlokasi di perempatan lampu merah Jalan Sudirman. Mereka memastikan orang-orang memarkir motornya dengan rapi, setelah itu mengantar mereka masuk melalui terowongan kecil yang dilukis dengan motif batu merah, menuju halaman Tarungku Toae yang telah dipadati ratusan orang.
Di Tarungku Toae, orang-orang berkumpul menghadiri pembukaan Makassar Biennale 2019 – Bulukumba. Ruang-ruang penjara yang dulunya dipakai untuk mengurung manusia, diubah dan disiasati menjadi ruang pamer dan lapakan yang menjual ragam makanan dan minuman. Kerumunan orang-orang terlihat intim mengobrol seputar keseharian, pekerjaan, hingga kesenian. Beberapa pengunjung juga ada yang berada di dalam ruang pamer, bekas penjara yang di-display sedemikian rupa hingga dapat dinikmati semua orang.
Lampu-lampu dimatikan. Orang-orang diarahkan menuju ke tempat duduk, yang di beberapa titik digelar sebuah karpet berwarna biru dan abu-abu. Di lantai bekas sisa bangunan, beberapa tamu undangan dan para tamu lainnya sudah hadir dan menunggu malam pembukaan Makassar Biennale 2019 di Bulukumba. Jam delapan malam, Wakil Bupati Bulukumba, Tomy Satria, tiba bersama istrinya di lokasi. Panitia dan beberapa orang berbaju hitam sibuk mempersiapkan diri untuk menampilkan teater pada pembukaan itu.
Acara dimulai dengan laporan ketua panitia, Ira Maghfira. Ira menjelaskan bahwa pameran Makassar Biennale 2019 di Bulukumba dikerjakan secara gotong royong dengan melibatkan lima puluh orang dari latar belakang berbeda. Mulai dari komunitas, pelajar, pegiat literasi, hingga jurnalis, terlibat aktif untuk menyukseskan pameran dua tahunan ini. Makassar Biennale 2019 – Bulukumba, mengangkat tema “Migrasi Tionghoa di Bulukumba” yang merekam proses akulturasi masyarakat Tionghoa melalui proses residensi seni, teater, tari, pengarsipan, riset foto, dan lokakarya. Kegiatan ini berlangsung selama tujuh hari, 16 – 22 September 2019.
Bisa dibayangkan, bagaimana orang-orang dengan latar belakang berbeda berkumpul dan berkolaborasi mengerjakan pameran seni rupa skala internasional ini. Alih-alih membayangkan chaos yang terjadi selama proses persiapan, kolaborasi antara latar belakang yang berbeda-beda menjadi lebih menguntungkan, sebab meramu perspektif yang bermacam-macam.
Bulukumba sendiri menjadi kota kedua dalam helatan dua tahunan Makassar Biennale (MB) 2019, setelah sebelumnya berlangsung di Makassar di Gedung Kesenian Societeit de Harmonie dari tanggal 1 – 15 September 2019. Dipilihnya Bulukumba sebagai salah satu lokasi perhelatan MB 2019, menurut Selvy Anggriani Syarif dalam sambutannnya mewakili tim kerja Makassar Biennale 2019, “Karena teman-teman Bulukumba punya ikatan sebelumnya dalam kegiatan-kegiatan literasi.” Hubungan antara dua kota ini kemudian dilihat sebagai modal sosial untuk mengerjakan sesuatu bersama-sama.
Achmad Dharsyaf Pabottingi, ketua Teater Kampong yang juga menjadi salah satu seniman yang ikut berpameran pada MB 2019 di Bulukumba, membacakan spektrum kebudayaan Bulukumba untuk menyambut helatan dua tahunan ini. Ia membentangkan sejarah dan kebudayaan Bulukumba dalam fragmen migrasi, sungai, dan kuliner.
Spektrum kebudayaan yang dibacakan Achmad Dharsyaf Pabottingi kemudian direspons oleh Wakil Bupati Bulukumba, Tomy Satria setelah secara resmi membuka MB 2019 – Bulukumba. Ia menyatakan kekagumannya pada Caca’, sapaan akrab Achmad Dharsyaf Pabottingi¸ yang sejak 1979 mendirikan Teater Kampong dan menjalankannya sampai sekarang. Menurutnya, sosok Caca’ sulit diikuti oleh para pemuda saat ini, sebab banyak tawaran menarik dalam perspektif ekonomi yang sulit untuk ditolak.
Tomy melanjutkan, spektrum kebudayaan Bulukumba yang dibacakan oleh Caca’ begitu menekankan dari barat sampai ke timur, dari Kindang sampai ke Kajang, betul-betul menjadikan Bulukumba sebagai identitas kabupaten dalam keragaman-keragaman budaya dan suku. Menurut Tomy, dengan kekayaan itu, akselerasi budaya menjadi modal yang sangat kuat. Meskipun yang akhir-akhir ini terjadi, polarisasi dan pemetaan-pemetaan lebih mengarah pada orientasi-orientasi pragmatis. Padahal menurut Tomy, seharusnya ini menjadi modal Bulukumba jika ingin melihat Bulukumba baik di masa-masa mendatang.
Sebelumnya, Bulukumba juga menjadi salah satu lokasi residensi seniman MB 2017. Ketika itu, Cut Putri Ayasofia, seniman asal Banda Aceh melakukan riset terhadap tokoh Datuk Di Tiro dan memvisualkannya dalam bentuk komik. Untuk itu, Tomy merasa bahwa Makassar Biennale menjadi ruang untuk eksistensi kebudayaan Bulukumba, terlebih menjadi salah satu kota dari empat kota yang menjadi titik pameran seni rupa dua tahunan ini digelar.
Setelah sambutan-sambutan pada pembukaan MB 2019– Bulukumba selesai, kemudian dilanjutkan dengan “Tari Teater Panambe” oleh Teater Kampong. Panambe merupakan alat penangkapan ikan tradisional di Bulukumba, yang oleh Caca’ disebut banyak memberikan kontribusi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa melalui protein ikan.
Tari Teater Panambe ini, menampilkan bagaimana alat penangkap ikan itu dioperasikan. Selain itu, menurut Caca’, ini juga berhubungan dengan masyarakat Tionghoa yang punya jasa yang cukup besar karena punya daya beli yang tinggi terhadap hasil tangkapan ikan masyarakat nelayan Bulukumba.
Teater ini diperankan oleh lima pria berambut panjang yang diilustrasikan sedang menangkap ikan di laut dengan panambe. Selain itu, empat orang perempuan diilustrasikan sebagai istri nelayan yang membantu suaminya memungut ikan hasil tangkapan mereka. Tak hanya itu, seorang wanita didandani ala Tionghoa dengan beberapa properti ikan di belakangnya, bersama dua orang lelaki yang memerankan hiu dan ikan pari. Teater tari ini kemudian ditutup oleh Caca’ yang naik ke panggung dan memperkenalkan para pemain teater tari ini.
Setelah Teater Tari Panambe selesai diperankan, kemudian dilanjutkan dengan pemutaran video karya Fan Chon Hoo, seniman asal Penang, yang beresidensi di Bulukumba, karyanya berjudul “Tak Seorang Pun yang Ditinggalkan”. Video yang diprakarsai Fan Chon, merupakan video potongan film-film Bruce Lee dan Jacky Chan yang suaranya diisi oleh beberapa orang dari Bulukumba dengan dialek dan bahasa Bugis. Video Fan Chon Hoo begitu menarik penonton yang terkekeh mendengar dialog-dialog lucu yang ditampilkan. Sementara itu, poster film Fan Chon dibuat oleh Caca’, diletakkan di depan Tarungku Toae.
Setelah pembukaan selesai, lampu-lampu kembali dinyalakan. Orang-orang masuk ke dalam kamar-kamar penjara yang di dalamnya ada karya-karya seni dari puluhan seniman yang terlibat di MB 2019– Bulukumba. Di dalam penjara yang menjadi ruang pameran itu, ada hal yang kontras terlihat. Para muda-mudi cenderung merespons karya seni dengan menjadikannya latar kemudian mengirimkannya ke media sosial. Sedangkan orang-orang dewasa dan orang tua yang hadir masuk ke dalam dan melihat detail karya sambil sesekali menyentuhnya.
Makassar Biennale memang mestinya jadi ruang belajar, ruang dialog, untuk membicarakan banyak hal lewat medium seni rupa. Meskipun beberapa karya hanya direspons sebagai latar belakang untuk foto, tetapi bukanlah masalah. Minimal mereka mengenal cara menyajikan sesuatu, cara meramu sesuatu, atau cara mereka merespons sesuatu. Hal ini tentu bisa terjadi jika dilakukan terus-menerus dan ikhlas seperti apa yang dikatakan Caca’, “Kalau kita mau belajar dengan ikhlas, tidak ada hal yang susah”.
Tulisan ini terbit pertama kali di makassarbiennale.org
Fauzan Al Ayubby, belajar dan bekerja di Tanahindie.