Cerita dari Tebing Karst Belae

Perhelatan Makassar Biennale (MB) 2021 berlabuh di Pangkep. Untuk kali pertama, Pangkep menjadi wilayah–ruang dalam perhelatan MB. Selama empat hari pelaksanaan yang berpusat di Kampung Belae, Biraeng, Minasatene. Terdapat beberapa agenda kegiatan, di antaranya: simposium, wicara seniman, malam puisi tiba-tiba, juga obrolan-obrolan santai di luar jadwal kegiatan. 

Pembukaan

Agenda pembukaan di sore hari itu menandai dimulainya perhelatan. Anwar Jimpe Rachman, Direktur Makassar Biennale mengatakan jika jadwal program di Pangkep sengaja dibuat dinamis karena konsepnya memadukan kamping, sehingga jadwal yang awalnya simposium, diganti menjadi pembukaan dialogis yang diisi Nirwan Ahmad Arsuka, pendiri Pustaka Bergerak Indonesia; Nurhady Sirimorok; penulis, Halim HD, budayawan; juga F Daus AR, koordinator MB Pangkep 2021.

Nurhady memberikan pengantar seputar kebudayaan materil yang melatari lahirnya kebudayaan suatu masyarakat. Ia mengaitkan kemelimpahan ruang mencipta atau mengembangkan pencapaian artistik yang bisa dialami manusia ketika ketersediaan material terpenuhi. Dari pencapaian kebudayaan itu memunculkan kode budaya yang masih dirasakan hingga saat ini. 

Nirwan dalam paparannya mengulas kembali kehadiran MB sebagai ruang yang mencoba menemukan ciri khas dan menegaskan identitasnya sebagai suluh untuk terus hadir. Identitas yang coba dibangun tentu tidak disandarkan pada kebuntuan dialog antar pelaku seni di nusantara, tetapi akan menjadi kemelimpahan bahan untuk terus didialogkan. Ia menawarkan tantangan jika dua tahun kemudian di helatan MB selanjutnya kita bertemu kembali dengan ragam karsa dan cipta yang dapat memantik dialog.

Menyambung Nirwan, Halim HD mengungkapkan jika Artjog, ataupun biennale di sejumlah kota yang marak dilakukan semuanya bagus, hanya saja tidak ada yang ‘mengganggu’ pikirannya.

Setelah pembukaan, malam harinya digelar pemutaran video dokumenter Menjawab Teka Teki Lukisan Purba di Belae. Dokumenter berdurasi lima menit ini meneropong kiprah Ady Supriadi, penggiat karts dari Belae, Kecamatan Minasatene, Kabupaten Pangkajene Kepulauan. Ady mengetengahkan hipotesis yang dikembangkan atas pembacaannya mengamati sebaran lukisan cadas di sejumlah gua. “Ada yang menarik dari cerita yang saya dapat dari orang tua bahwa kita ini berada di kawasan karst yang memiliki nilai sejarah,” papar Ady dalam video dokumenter tersebut. Berbekal cerita yang didengar dari masa kecil itulah, yang menjadi penuntun Adi hingga mengembangkan hipotesisnya. 

Sedari kecil, ia memang sering mengikuti kakeknya, Daeng Ambo yang bertugas menjaga sejumlah gua di Belae. Setelah Daeng Ambo sepuh, tugas itu kemudian dilanjutkan anaknya, Haeruddin, ayah Ady. “Ini dulu tempat main saya waktu kecil,” paparnya sewaktu di Leang Kassi pada Rabu, 22 September 2021 ketika mendampingi Taufiqurrahman “Kifu”–Dian Anggriani Putri (Forum Sudut Pandang) dan Syahrullah “Ule” (Muara Suara), tiga seniman dari komunitas yang menjalani residensi di Pangkep.

Hipotesa yang dikembangkan Ady bermula dari Leang Bulo Ribba, di leang ini terdapat lukisan tunggal berupa ikan yang ekornya mengarah ke sejumlah titik gua seperti Leang Tuka Satu hingga Lima, Bubbuka, Caddia, Lambuto, Lompoa, Kassi, Ulu Tedong, Sapiria, Lamara, Sassang, Ujung, Camming Kana. Semua Leang ini tersebar di Gunung Matojeng dan Lamperangan. Secara geografis, kawasan Karst Matojeng dan Lamperangan ini mencakup Desa Kabba dan Kelurahan Biraeng. 

Dari sebaran lukisan cadas di sejumlah leang, Ady menarik kesimpulan jika sebaran gambar yang terpisah-pisah itu merupakan petunjuk yang mengarahkan ke Leang Sakapao. Dari keseluruhan leang yang ada di Belae Sakapao merupakan leang yang posisinya paling tinggi di tebing karst. 

Berdasarkan letak itu dan banyaknya jumlah gambar dibandingkan di leang yang lain, Ady menyimpulkan jika Leang Sakapao adalah pusat atau bisa disebut alun-alun manusia purba di zaman itu. Pendapatnya ini juga ditopang dari kesimpulan akademisi yang pernah melakukan penelitian dengan asumsi serupa. “Apa yang coba didedahkan Ady itu menarik, ia berkata bahwa karst di Belae ini masih hidup. Hidup dalam artian tumbuh dan ekosistemnya masih terjaga dan saling terkait.” tanggap Halim HD. 

Hari kedua

Pada hari kedua, jadwal simposium baru digelar, Yasin mengajak para peserta menonton film dokumenter yang telah disiapkan. Pertama, film Journey of Mankind yang menggambarkan gelombang migrasi manusia sejak 150 ribu SM  yang berpindah dari satu kawasan ke wilayah yang lain hingga tembus di kawasan Wallacea yang kita akrabi hari ini. Film kedua How Art Made The Word mengupas mendalam tentang lukisan cadas di Afrika.

Selepas itu, selanjutnya dilakukan Susur Gua ke Leang Sakapao. Pak Ambo, juru pelihara gua dan Ady memandu langsung. Perjalanan ke sana melintasi pematang sawah sebelum menapaki anak tangga setinggi kurang lebih 30 meter untuk sampai di leang.  

Malam harinya, Munjiyah Dirga Ghazali tampil membacakan dongeng hasil penelitiannya sekitar lima tahun, ia menggali khasanah folk yang tersebar di sejumlah wilayah di Pangkep dan meramunya kembali menjadi dongeng. Dalam monolog pendek berdurasi 10 menit, Munji, sapaan akrabnya, membacakan Lanong, Legenda dari Pulau Salemo. 

Setelahnya, simposium sesi Nirwan Ahmad Arsuka. Ia memulai obrolannya dengan merespons dongeng Munji sebagai dongeng yang bertumpu pada alur cerita. Nirwan membagi dua struktur cerita yang disebutnya cerita berpagar yang memiliki motif larangan. Lalu ada cerita serupa jendela yang menawarkan perspektif terbuka untuk memaknainya lebih jauh. Mengoneksikan muatan dongeng dalam monolog Munji, Nirwan kembali menawarkan tantangan pembacaan mengenai lukisan cadas yang telah dikunjungi di Sakapao. Menurutnya, lukisan yang dibuat itu melampaui kebutuhan fisik sang pembuatnya, tetapi sudah masuk dalam penggambaran batiniah. “Lukisan purba yang ditemukan di sejumlah belahan Eropa berupa bison-namun tidak ditemukan tulang belulang bison. Asumsi itu menggugurkan pandangan kalau bison merupakan hewan buruan karena yang didapat justru tulang rusa.” tukasnya.

Nirwan mengajak para peserta melihat lukisan cadas sebagai cerita berperspektif jendela karena memberikan banyak asumsi untuk dikembangkan. Medium dalam merespons bisa beragam, selain melalui tulisan, bisa juga medium visual berupa video atau foto, termasuk ke dalam media sosial berupa TikTok. Medium apa pun yang digunakan selalu mengandung unsur cerita. Karena dari ceritalah basis informasi yang bisa dikembangkan untuk melahirkan satu teori hingga konjungsi dalam merefleksikan suatu subyek. 

Dialog yang tersaji usai monolog dongeng mengelaborasi cerita sebagai pangkal yang bisa menjadi upaya manusia dalam menghadirkan dirinya. Halim HD, budayawan yang juga turut hadir malam itu juga kembali mengingatkan teror yang dialami dalam rumah ketika manusia seolah berhenti bercerita karena digantikan televisi. Hamparan kisah yang dulu didengar perlahan menghilang. Seturut dengan itu, Yasin juga menceritakan bahwa ketika memberikan tugas kepada mahasiswanya untuk mengumpulkan cerita, ia terpengarah karena hasilnya sangat sedikit. Hal demikian tentu saja memiliki kaitan dengan budaya tutur dan sedikitnya perekaman yang dilakukan menggunakan medium teks.

Di akhir sesi menyudahi dialog (cerita) di kawasan tebing Karst Belae malam itu, tergambar jendela di benak masing-masing untuk terus merawat, merefleksi, hingga memproduksi cerita agar dua tahun lagi dapat kembali bersua di perhelatan MB Pangkep mendatang.

Hari Ketiga

Usai makan siang, kain hitam digelar di bawah kolong sebagai alas. Hari itu akan dilanjutkan ke Simposium #4 yang menghadirkan Maharani Budi, Dosen Komunikasi Visual Universitas Telkom, Bandung dan Albert Rahman Putra–M. Biahlil Badri seniman residensi MB Parepare dari komunitas Gubuak Kopi, Solok, Sumatera Barat.   

Selama kurang lebih dua jam, Rani dan Albert memaparkan dua hal yang berbeda tetapi memiliki keterkaitan dengan kerja kesenian. Albert memulai sesi dengan mengisahkan perjumpaannya selama menelusuri jejak dan mendengarkan beragam kisah selama di Parepare.

Ada hal menghentak ketika Albert menarasikan kembali hasil persinggungannya dengan dialog kritis dengan komunitas di Parepare menyoal pencaplokan nama besar Habibie untuk segala hal sebagai klaim pembangunan. Habibie rupanya diterima mentah-mentah tanpa saringan sehingga namanya dijadikan nama rumah sakit di lokasi reklamasi atau sebagai stadion selain monumen cinta yang terkenal itu. “Padahal Habibie ini cuma numpang lahir di Parepare dan selanjutnya terhampar jarak yang memisahkan,” tukas Albert. 

Kegelisahan Albert ini ternyata juga sudah lama mengusik pemuda kritis di Parepare. Andi Musran, tim kerja MB Parepare mengatakan jika wacana kritis sudah lama menguak sejak dimulainya reklamasi. “Wacana ini semakin kuat setelah kehadiran seniman residensi di Parepare dan intens dibicarakan dalam serangkaian diskusi,” paparnya.

Albert melihat itu sebagai pertarungan dua narasi. Pertama, narasi terlembaga dan narasi gosip yang tersebar di benak warga yang melihatnya sebagai ketimpangan (kritis). Ia juga banyak menceritakan berbagai hal yang bertumpu pada narasi sejarah. Guna menindaklanjuti serangkaian program residensi yang telah dijalani, Albert dan Badri, menginisiasi Diskusi Fokus Terarah yang digelar secara tertutup dengan menghadirkan anak-anak muda di Parepare. Setelah obrolan panjang itu, mereka bersama-sama menyepakati pembuatan platform digital Instagram dengan nama akun sureq_id. Platform urun daya yang diperuntukkan untuk membagi kisah di sekitar dengan tagar #sureq dan #bakutarik yang akan digunakan oleh warga terutama anak muda di Parepare. 

Visual Arsip

“Saya lahir di Dili, besar di Flores dan baru dipulangkan ke Makassar,” ujar Maharani Budi. Ia menyelesaikan sekolah menengah atas (SMA) di Makassar sebelum ke Bandung melanjutkan studi dan meluangkan waktunya sebagai pengajar dan desainer di sana. 

Ia mengulas proyek yang sedang digarapnya mengenai tafsir visual epos La Galigo sebagai respons atas miskinnya arsip visual yang kita miliki. “Nenek moyang kita kekurangan warisan arsip dan lebih banyak ke Eropa,” tukasnya.

Rani, sapaan akrabnya, mulai gelisah dengan arsip visual ini ketika merasa mengalami kegamangan identitas di tanah rantau. Hidup di tengah melimpahnya media digital dan ia sendiri pengampu mata kuliah desain visual juga praktisi terus mendorongnya untuk terus kreatif berkarya. 

Melalui slide yang ditampilkan, nampak sekali rupa visual atas teks La Galigo. Ia memantik peserta pada siang hari itu untuk menebak sosok yang ditampilkan. “Saya suka sekali konten yang menginspirasi saya dari ensiklopedia yang mengupas perkembangan seni rupa di zaman renaisans, tetapi saya mau kontennya dari epos Sulawesi,” ia melanjutkan.

Dari beberapa gambar yang ditampilkan Rani sungguh memukau. Sangat detail dan penuh pertimbangan, tidak hanya segi artistik tetapi juga matematis. Konsep yang dibuatnya ini sudah melampaui batas definisi apa itu seni dana apa itu desain visual yang mengemuka kembali dalam sesi tanya jawab. 

Yasin menanggapi, jika dikotomi definisi seni dan desain visual itu sudah tidak relevan lagi. “Orang mau menanggapinya sebagai seni atau cuma desain sudah tidak masalah,” jelasnya. 

Akhir September Ceria

Pada hari terakhir, Selasa, 28 Oktober 2021 giliran Louie Buana yang berbagi kisah tentang penelitiannya mengenai diaspora Bugis di Bali yang disarikan dari kisah La Salaga Daeng Mallari atau disebut juga I Salarang, salah satu tokoh epik di abad ke 17 yang jarang diketahui. Kisah ini memiliki talian antara kerajaan di Bali dengan kerajaan di Mamuju.

Ada kemiripan yang dikerjakan Rani, ia juga melakukan pembacaan ulang budaya dari perspektif kekinian (Youth Friendly). Penelitiannya ini mendapat dukungan dari KITLV Belanda dan bakal dipresentasikan dalam gelaran Ubud Writers & Readers Festival 2021. Medium penelitiannya ini dikemas ke dalam komik. Sesi ini berlangsung penuh keceriaan. Louie berkisah dengan cair diselah celetukan joke peserta. 

Pada malam harinya, program dilanjutkan dengan menonton  tiga dokumenter yang telah disiapkan Tim kerja MB Pangkep. Pertama, rekaman pembacaan esai Adnan Muis, Kedua, Dokumenter seniman residensi Dahri Dahlan, dan Ketiga, produksi ulang Hikayat Pengobatan Bedak Basah, Warisan yang Diturunkan Melalui Mimpi. 

Usai menonton dokumenter, Kifu dan Dian tampil menarasikan pengalamannya selama melakukan residensi di Pangkep. Kedua seniman ini mengajak hadirin berdiri sebagai bagian dari pementasan. Hal tersebut sebagai siasat agar memudahkan Kifu menampilkan tayangan slide dari komputer jinjingnya. Melanjutkan itu, Dian menerjemahkan muatan lain dari air dan karst ke dalam gerak yang sebagian besarnya diadaptasi dari lukisan cadas yang dijumpainya dari sejumlah gua yang sempat dikunjunginya. 

Sedangkan Ule karena keterbatasan waktu, tak sempat menuntaskan presentasinya secara utuh, tetapi ia memberikan bocoran karyanya berupa foto sejumlah jenis batu yang dijumpainya. Ia merespons karst sebagai sesuatu yang lain dan menyebutnya Found Art.

Setelah seluruh item acara selesai, pancaran bulan mulai nampak di puncak karst Kalibbong Alloa. Beberapa orang mulai membentuk kelompok di beberapa sudut untuk melanjutkan cerita yang lain. Api unggun yang dinyalakan di tengah lingkaran kelompok-kelompok ini memberikan kehangatan dari tiupan angin malam. Malam terus bergerak, para peserta lalu bergantian membacakan puisi hingga satu per satu di antara mereka mulai berbaring dan tidur beratapkan langit dan berdindingkan hamparan gua-gua.[]

F Daus Ar, tim kerja Makassar Biennale 2021 – Pangkep

Bagikan:
Pin Share

Tinggalkan Balasan