Tiga bulan terakhir menjelang akhir tahun 2020, sekelompok perupa yang tergabung dalam MAIM (Makassar Art Initiative Movement) sedang gencar-gencarnya menggelar pameran di Makassar. Pameran itu bernama ‘Rally Art’ (selanjutnya disebut ‘Reli Rupa’) yang dibikin berseri setiap bulan.
Mendengar kata ‘Rally’ seketika ingatan saya tertuju pada balapan mobil reli, khususnya game mobile balapan yang sering saya mainkan dua bulan belakangan ini (baca: Rally Fury – Extreme Racing). Namun reli dalam Reli Rupa ini tampaknya hanya diadopsi sebagai satu model gelaran yang diselenggarakan tiap bulan di arena pameran yang berbeda.
November tahun ini merupakan seri ketiga Reli Rupa yang baru saja digelar selama tiga hari, 23-25 November 2020. Dua seri sebelumnya telah berlangsung secara beruntun di dua tempat yang berbeda. Seri pertama (Reli Rupa #1) digelar pada 11-12 September di Find Art Space, Antang, dan seri kedua (Reli Rupa #2) berlangsung selama tiga hari (28-30 Oktober 2020), di Artmosphere Studio (dulunya masih bernama Artisan Workshop), Jalan Abdullah Daeng Sirua Lorong 8, Makassar.
Selain model pameran yang digelar setiap bulan di lokasi yang berbeda, model lain dalam Reli Rupa, kata Achmad Fauzi (salah satu anggota MAIM), “tuan rumah dalam reli selain menyediakan tempat pameran, ia juga bisa membatasi atau menentukan tema.” Seperti pada gelaran seri pertama Reli Rupa yang diadakan di Find Art Space, sekretariat Find Art (Achmad Fauzi, Ahmad Anzul, dan Amrullah Syam), mereka mengusung tema Leang-Leang Art Project yang kemudian disepakati oleh para seniman MAIM untuk direspons.
Reli Rupa Seri Pertama
Leang-Leang Art Project sebagai tema Reli Rupa pertama ini, ‘mencoba untuk membaca manusia prasejarah—awal mula peradaban’. Menurut Achmad Fauzi, “Kata salah seorang teman, bisa jadi ini karya seni di Leang-Leang adalah titik nolnya seni rupa dunia, karena dianggap karya lukis tertua di muka bumi.”
Achmad Fauzi sebagai salah satu tuan rumah Reli Rupa pertama, merespons tema seri pertama ini dengan sebuah karya interaktif berjudul Cara Pandang Prasejarah, karya yang mencoba mereka bentuk lukisan stensil tangan yang terdapat di dinding pengunungan karts Maros-Pangkep, Sulawesi Selatan.
Di dalam sebuah ruangan berukuran sekira 7 x 8 meter yang dijadikan sebagai ruang pamer, karya Fauzi berada tepat di sebelah kiri pintu masuk pameran, karya yang seolah menyapa pengunjung pameran dengan simbol cap tangan, lambaian tangan.
Stensil tangan yang menggunakan cat semprot berwarna merah itu menempel di dinding dan lantai ruangan, di atas kertas yang ditata di sebuah meja yang menyerupai meja tata rias dengan latar belakang kain hitam, dan di dua alat pelindung wajah.
Kehadiran pelindung wajah berlatar cap tangan merah yang disajikan seniman berkacamata ini, menjadi salah satu bentuk strategi menarik dalam menggambarkan masa silam dan situasi masa kini. Cap tangan disimbolkan sebagai masa silam, sementara pelindung wajah digambarkan sebagai respons situasi masa kini, pandemi. Karya tersebut, selain mengajak pengunjung untuk berinteraksi menggunakan pelindung wajah bercap tangan, juga mengajak seniman lain untuk melihat karyanya menggunakan pelindung wajah tersebut. Fauzi mengistilahkan jika ia memakai pelindung wajah dan melihat karya seniman lain di sekelilingnya, maka itu berarti “Kulihat Karyamu di Karyaku”.
Selain karya Fauzi yang ditampilkan pada Reli Rupa #1 ini, karya seniman lain seperti Amrullah Syam berjudul Sirna juga menarik untuk kita renungi. Karya lukisan seniman berusia kepala tujuh ini mengajak kita untuk menyadari sekaligus menjaga salah satu situs berharga visual purba di dinding pengunungan karts Maros-Pangkep.
Lukisan fragmen stensil tangan dan figur anoa yang digambarkan Amrullah Syam menampilkan proses menuju Sirna, sebagaimana judul karyanya. Gambar cap tangan dan anoa dalam lukisan itu dilukiskan secara eksplisit dinding batu yang retak—pecah, sebagai sebuah bayangan dari ancaman pabrik semen.
Seniman lain yang turut menampilkan karyanya pada seri pertama ini adalah Muhammad Suyudi dengan judul Melihat Lebih Dekat; Yuli Avianto – Alunan Proses; Haroen P Mas’ud – Belum Terhenti; Faisal Syarif – Art Sign#20; Jenry Pasassan – Inter Connection; Ahmad Anzul – Energi Home; dan Budi Haryawan – Our Home and Not For Sale.
Karya Budi Haryawan berjudul Our Home and Not For Sale menjadi salah satu karya yang menarik perhatian saya sejak awal tiba di pameran ini. Karya tersebut dilukiskan dengan delapan simbol tapak tangan yang mengelilingi delapan simbol tapak kaki. Penggunaan warna kuning, merah, hijau, latar hitam, dengan sedikit bercak biru sejenak menarik ingatan saya kala itu pada sebuah lambang Rasta dan Bob Marley.
Menurut Budi Haryawan, Our Home and Not For Sale (Rumah Kami dan Tidak Untuk Dijual), konsep dasarnya seperti dalam Al-Quran yang menjelaskan tentang penciptaan manusia dari seorang laki-laki dan perempuan menjadi berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling kenal-mengenal. “Bukan baku gigit,” kata Budi.
“Bagaimana supaya kita tidak baku gigit? Ya kita harus saling kenal-mengenal, ‘kan banyak yang kita tidak tahu,” sambung Budi. Karya Our Home and Not For Sale secara implisit mengajak kita untuk membiasakan mengenal sesuatu terlebih dahulu, sebelum menilai atau memberi kesimpulan. Karya ini pula menggambarkan soal keberagaman dari ragam huruf/bahasa dunia yang tersebar di sekeliling lukisan yang hanya dapat jelas terlihat, apabila dari dekat. Bahasa-bahasa seperti Hindi, Urdu, Lontara, Kazakh, Kanji, dan lain-lain itu dituliskan dalam satu arti yang sama yakni “Rumah Kami”.
Karya Our Home and Not For Sale adalah salah satu karya pengingat Budi untuk kategori karya tidak untuk dijual. Perupa kelahiran Makassar ini memang selain melukis untuk dirinya sendiri (karya pribadi yang tidak untuk dijual), juga menerima pesanan lukisan dari orang lain.
Reli Rupa Seri Kedua
Gelaran seri kedua Reli Rupa di Artmosphere Studio berlangsung ramai dari gelaran sebelumnya di Find Art Space. Kurang lebih 30 pengunjung memadati area pameran, yang didominasi oleh kalangan mahasiswa.
Para pengunjung terlihat menikmati suasana pameran yang terasa tentram dengan musik instrumental. Tak heran jika pengunjung lebih banyak menghabiskan waktunya di pameran ini untuk saling bercengkerama satu sama lain, ditemani suguhan kopi dan aneka kudapan dari ‘tuan rumah’. Sadar maupun tak disadari, momentum Reli Rupa #2 ini seketika menjadi wadah silaturahmi bagi sesama pengunjung maupun seniman.
Seri kedua Reli Rupa ini mengusug tema Artmosphere, yang menurut Jenry, “Ini merupakan satu upaya yang dibangun secara intensif untuk saling berbagi rasa dan karya yang bertujuan menyebarkan benih pohon kreatif seni rupa Makassar yang penuh dinamika; pada tanah-tanah subur terbengkalai yang menanti untuk diolah penuh semangat.”[1]
Pameran yang dikuratori oleh I Wayan Sriyoga Parta ini, dalam catatan kuratorialnya, menuliskan bahwa “….Kali ini di masa pandemi Covid-19 ketika semua ruang gerak dan interaksi sosial harus dibatasi, kreativitas tetap tanpa batas. Para perupa tak urung untuk selalu berpikir kreatif dan melakukan aksi-aksi kreatif. Begitupun para perupa di dalam MAIM, kini hadir dengan pameran berbasis ruang dan instalasi multimedia dalam tajuk Artmosfer. Karya-karya mereka bergerak melampaui batasan konvensi dan kenyamanan ruang kreativitas masing-masing. Menciptakan artmosfer di dalam biosfer bumi. ‘Bermain-main’ dengan media dan melampaui atau menolak pembatasan yang dihadapi karena pandemi Covid-19. Bahkan di saat nilai dan fungsi seni semakin dipertanyakan ketika krisis ekonomi mulai mengintai berkobar bak api dalam sekam…”[2]
Para seniman yang berpameran pada gelaran kedua ini adalah Jenry Pasassan, Haroen P Mas’ud, Amrullah Syam, Endeng Mursalin, AH Rimba, Budi Haryawan, Muhammad Suyudi, Avi Yulianto, Ahmad Anzul, Achmad Fauzi, dan Faisal Syarif.
Reli Rupa Seri Ketiga
Pada gelaran ketiganya, Reli Rupa mengusung tema “Inner” (batin). Tema yang mencoba menantang para seniman untuk menggali misteri yang kompleks dalam hidupnya masing-masing. Tak heran jika melihat judul dan pemantik karya-karya yang dipamerkan di seri ketiga ini, sifatnya lebih personal.
Sebut saja karya Muhammad Suyudi berjudul Inner Core yang menampilkan dua panel daun jendela kayu dengan kain sutera yang dijadikan sebagai media lukis. Secara umum, karya ini membahas tentang peran dan nilai seorang wanita dalam pandangan Bugis. Namun dibalik itu pula, menurut saya, kesan dari jendela rumah kayu dan kain sutera juga secara implisit ingin menampilkan kampung halaman si seniman yakni Sengkang, yang dikenal sebagai ‘Kota Sutera’.
Selain karya Yudi, karya Budi berjudul Self Labyrinth tampak lebih intim tentang perjalanan ‘kesadaran’ yang digambarkan si seniman. Refleks ketika saya melihatnya lebih dekat serupa pusaran yang bisa saja dengan melihatnya berlama-lama membikin kita terhanyut. Di titik tertentu, jika saya melihatnya dari jauh, dalam sebuah layar kamera, tampak seperti sebuah sidik jari. Sidik jari yang sudah dicelup dalam sebuah tinta berwarna-warni. Mencoba menyelami Self Labyrinth Budi membawa saya pada sebuah perjalanan bak pusaran yang berputar-putar, membingungkan, sebuah teka-teki, yang penuh warna-warni.
Selain Budi dan Yudi yang masih kukuh berpameran sampai pada gelaran ketiga ini, seniman lain yang tercatat belum pernah absen dalam tiga seri Reli Rupa ini adalah Faisal Syarif, Jenry Pasassan, Ahmad Anzul, Achmad Fauzi, dan Amrullah Syam. Mereka adalah para perupa yang penuh semangat akan perkembangan dan keberlangsungan ekosistem seni rupa Makassar.
Pada akhirnya, upaya MAIM dalam melangsungkan pameran Reli Rupa secara offline sampai pada seri ketiga ini, tentu penuh dengan tantangan berlapis di tengah situasi pandemi yang serba membingungkan ini. Mulai dari upaya pertemuan intens merancang konsep pameran, menentukan tema, gagasan dan eksekusi karya, biaya, acara pameran, hingga pertimbangan-pertimbangan lain dalam menyiasati situasi pandemi ini.
Proses dari penyelenggaraan pameran berseri yang diwujudkan MAIM, bukanlah sebuah pameran yang ‘instan’, yang bisa dipelajari hanya dalam sekian waktu. Meski hanya ‘melihatnya dari jauh’ (tidak terlibat langsung membantu dalam prosesnya), namun laku para seniman MAIM dalam melangsungkan rangkaian Reli Rupa ini menggambarkan salah satu bentuk sikap “altruisme” (anti-individualis dalam menggalang sumber daya satu sama lain), dengan visi bersama untuk mengembangkan atmosfir kekaryaan berbasis kreativitas—keterbukaan akan ruang dan kritikan, sekaligus menjaga keberlangsungan pameran seni offline yang tampak mulai surut di Makassar.[]
Rafsanjani, belajar dan bekerja di Tanahindie.
[1]Artmosphere, Reli Rupa #2, https://artefact.id/2020/10/26/artmosphere-reli-rupa-2/, diakses pada 28 November 2020.
[2]I Wayan Seriyoga Parta, “Artmosphere”Kreativitas Melampaui Batasan dan Pembatasan, Oktober 2020.